Cabang-cabang ilmu biologi yang
saat ini berkembang, secara umum dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar,
yaitu kelompok ilmu dasar dan kelompok ilmu dengan objek tertentu. Kelompok ilmu
dasar tediri atas cabang ilmu yang menjadi dasar dari kajian ilmu biologi,
dengan tidak membatasi hanya pada objek tertentu saja. Sementara itu, ilmu
dengan objek tertentu terdiri atas cabang ilmu yang hanya membatasi
mengkaji satu objek khusus saja, namun dikaji dari berbagai sudut pandang ilmu.
Dalam kaitannya dengan cabang ilmu biologi, ilmu
taksonomi hewan termasuk dalam kelompok ilmu dasar. Objek kajian ilmu taksonomi
hewan mencakup semua hewan yang ada, mulai dari yang dianggap paling sederhana
struktur tubuhnya, yaitu protozoa sampai yang paling kompleks struktur
tubuhnya, yaitu mammalia.
A.
Tujuan Mempelajari Taksonomi Hewan
Taksonomi hewan erat kaitannya dengan
keanekaragaman hewan. Jumlah jenis hewan sangat banyak. Pada saat ini, hewan-hewan yang sudah dikenal dan diberi
nama lebih dari 1,7 juta jenis. Setiap tahun jumlah jenis yang baru ditemukan
dan diidentifikasi selalu bertambah.
Apabila
kita tidak mengenal keanekaragaman hewan yang ada, bagaimana kita dapat
memelihara sekaligus memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia? Lantas,
sebenarnya apa makna dari mempelajari ilmu taksonomi hewan?
Pada saat kita mempelajari
taksonomi hewan, tidak sekedar mempelajari nama dan klasifikasi saja, namun
juga akan terkait dengan ciri, sifat, dan fungsi-fungsi ekologisnya di alam. Pemahaman akan jalinan informasi yang ada pada
suatu objek biologi amatlah penting untuk dipelajari.
Pada saat mempelajari sebuah objek makhluk hidup,
identitas dengan segala atribut yang melekat padanya amatlah penting sebagai
titik tolak untuk kajian berikutnya. Dengan kata lain, identitas suatu hewan
merupakan kunci pembuka untuk mengetahui berbagai informasi yang dimilikinya.
Berikut ini beberapa contoh
yang menunjukkan penerapan dari kajian dalam taksonomi hewan.
Industri
Farmasi - Di kawasan pantai di Indonesia terdapat banyak sekali
hewan-hewan invertebrata. Salah satunya adalah Aplysia dactylomela. Hewan ini menghasilkan zat anti-mikrobia
sehingga potensial dikembangkan untuk sebagai bahan dasar farmasi. Akan tetapi,
sebelum sampai ke sebuah industri, lebih dahulu harus ada kajian yang mendasar,
antara lain tentang akurasi identifikasi jenis, habitat, kemampuan reproduksi, dan
kapasitas zat anti-mikrobia yang dihasilkan. Tanpa adanya informasi dasar
tersebut, potensi dari Aplysia
dactylomela akan sulit dikembangkan sesuai harapan.
Pengendalian
Hama dan Penyakit - Pengendalian hama
dari tanaman budidaya harus dilakukan dengan tepat supaya tidak salah sasaran
atau menimbulkan dampak yang kurang baik bagi tanamannnya sendiri. Informasi
tentang biologi hama sangat penting sebagai
dasar dari pemberantasan hama.
Sebagai contoh dalam penggunaan jenis bahan aktif insektisida, dosis, serta
cara aplikasi yang tepat diperlukan informasi tentang biologi hama. Dengan demikian dampak negatif
penggunaan insektisida -yang pada
dasarnya merupakan racun- dapat diminimalkan.
Kontrol
Biologi - Pemberantasan hama
yang belum dikenal, penyelesaiannya menjadi sulit karena sifat-sifatnya belum
diketahui. Oleh karena itu, perlu kajian yang mendalam tentang taksonominya.
Dengan demikian, akan diperoleh landasan berpijak yang tepat untuk mempelajari
berbagai sifat hama
tersebut. Diharapkan pemberantasannya akan lebih efektif dengan sedikit efek
samping.
Pemberantaan
Vektor Penyakit - Pemberantasan nyamuk yang menjadi vektor penyakit
malaria seringkali tidak dapat maksimal karena salah sasaran. Kesalahan ini
terjadi karena beberapa nyamuk bersifat sibling spesies. Spesies-spesies
sibling sangat mirip secara morfologi, namun beberapa sifatnya berbeda. Supaya
pemberantasan nyamuk tersebut tepat sesuai dengan sasarannya, maka harus ada
informasi lebih dahulu beberapa sifat atau karakter yang dimiliki nyamuk
sasarannya.
Manajemen
Kehidupan Liar - Untuk menjaga kelestarian dari hewan-hewan
diperlukan berbagai informasi yang mendasar dari kehidupan hewan tersebut.
Untuk itu, harus diketahui lebih dahulu sifat- sifat hewan yang akan
dilestarikan. Untuk melestarikan harimau sumatra perlu dipertimbangkan luas
area jelajahnya supaya upaya pelestarian lebih optimal.
Komersial
- Produk-produk komersial dapat dihasilkan dari
berbagai jenis hewan. Sebagai contoh madu dan sutera dihasilkan dari sekelompok
serangga. Jenis serangga yang berbeda menghasilkan produk dengan kualitas yang
berbeda pula. Untuk itu perlu mengenal lebih dalam tentang berbagai informasi
biologi dari serangga tersebut.
Pengembangbiakan jenis jenis hewan peliharaan
memerlukan informasi yang tepat mengenai karakteristik dari reproduksinya.
Untuk mengetahui dengan tepat karakteristiknya, sebelumnya harus tahu lebih
dahulu identitas hewan yang akan dikembangbiakkan.
B. Sejarah Taksonomi Hewan
Ilmu taksonomi hewan sebenarnya sudah dipelajari
sejak lama. Dari waktu ke waktu, ilmu taksonomi ini selalu berkembang. Secara
sederhana, perkembangan ilmu taksonomi hewan dapat dibedakan dalam 3 periode.
Pertama - Periode ini adalah pada
masa Hippocrates, Demokritus, dan Aristoteles yang rata rata hidup dalam
rentang waktu 400-300 tahun SM. Mereka merupakan ahli-ahli yang banyak
meneliti hewan, namun hewan-hewan
tersebut dipelajari hanya dalam ruang lingkup lokal saja. Namun demikian,
seiring dengan berjalannya waktu, untuk seterusnya ilmu taksonomi selalu
berkembang, dan perkembangan yang sangat pesat adalah sejak masa Linnaeus.
Linnaeus telah meletakkan dasar-dasar ilmu taksonomi yang lebih modern. Prinsip
dan pemikiran Linnaeus tersebut tertuang melalui bukunya yang berjudul Systema Naturae yang terbit tahun 1785.
Kedua - Periode
kedua ini ditandai dengan munculnya pemikiran tentang evolusi. Setelah muncul
dan berkembangnya teori evolusi, mulai muncul pula pemikiran dan hipotesis
tentang keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Pada
periode ini mulai dipelajari kemungkinan kaitan antara satu kelompok dengan
kelompok yang lain, serta kemungkinan adanya perkembangan dari kelompok yang
sederhana sampai yang lebih kompleks. Pada periode ini, mulai muncul istilah filogeni yang menggambarkan
perkembangan makhluk hidup dari yang paling sederhana sampai yang kompleks. Namun
demikian, pada masa itu taksonomi masih memandang objek yang berupa hewan
sebagai suatu individu saja.
Ketiga
- Pada
periode yang pertama dan kedua tersebut, spesies masih dipandang dalam
pengertian individu. Namun demikian, pada periode yang ketiga ini spesies
dipandang dalam ruang lingkup populasi. Hal ini ditandai dengan munculnya
pengertian spesies biologi yang terkait dengan reproduksi. Oleh karena itu,
masa ini juga dikenal sebagai periode populasi.
Seiring dengan perkembangan
tekonologi maka beberapa permasalahan tentang nama suatu kelompok mulai muncul,
terutama untuk tataran kategori rendah. Hal tersebut terjadi karena pada level
tersebut banyak jenis yang morfologinya mirip namun sebenarnya berbeda dan
sering terjadi ketidakakuratan identifikasi. Dengan berbagai metode yang baru,
misalnya kajian tentang struktur protein serta DNA, maka banyak permasalahan ketidakakuratan
identifikasi yang bisa diselesaikan.
C.
Arah Pendekatan Taksonomi Hewan
Sejalan dengan era
perkembangan sains dan teknologi, maka berbagai metode baru banyak
diaplikasikan dalam studi taksonomi hewan. Metode pendekatan
yang modern juga mulai menyentuh berbagai karakter yang dapat menjawab adanya
perbedaan perbedaan infraspesifik. Beberapa pendekatan tersebut, antara lain
sebagai berikut.
Pendekatan
Morfologi - Dalam metode ini pendekatan yang digunakan adalah
kajian ciri-ciri morfologi.
Pendekatan
Embriologis dan Fase Kehidupan - Sampai saat ini,
diketahui bahwa selama dalam perkembangannya banyak hewan yang mengalami
berbagai tahapan atau fase perkembangan. Ciri dari tiap fase kehidupan itulah
yang dikaji sebagai ciri taksonomi.
Pendekatan
Ethologi - Pendekatan perilaku juga penting dilakukan saat
kita mengkaji tentang taksonomi. Antar-spesies yang berbeda banyak sekali yang
memiliki perilaku yang berbeda, meskipun secara morfologi mereka cukup mirip.
Pendekatan itulah yang digunakan sebagai ciri taksonomi.
Pendekatan
Ekologi - Pendekatan ekologi merupakan salah satu metode yang
cukup penting, apabila ditemukan beberapa kasus hewan yang memiliki morfologi
hampir sama.
Pendekatan
Sitologi - Dalam skala yang lebih kecil pengelompokan dalam
taksonomi hewan dapat dilakukan atas dasar struktur sel-nya atau sitologi. Dalam
kajian sitologi ini, termasuk hal-hal berikut ini: Susunan dan struktur gen, hibridisasi
DNA, dan Studi kariyologi
Pendekatan
Biokimia - Pada dasarnya prinsip pendekatan ini adalah menguji
dan membandingkan kandungan material biokimia dalam tubuh hewan.
Taksonomi
Numerik - Taksonomi numerik merupakan salah satu metode
pengelompokan yang bebasiskan data-data numerik. Landasan pengelompokannya
adalah dengan menumerikkan berbagai ciri yang dimiliki oleh hewan
II. PENGANTAR
TAKSONOMI HEWAN
Istilah-istilah takson, taksonomi, sistematika,
klasifikasi, kategori, dan identifikasi merupakan beberapa istilah yang banyak
kita jumpai saat kita bekerja dalam suatu ruang lingkup yang berkaitan dengan
taksonomi hewan. Selain itu, kita juga akan menggunakan beberapa konsep-konsep
dalam taksonomi, antara lain spesies dan tatanama. Beberapa konsep tersebut
tersebut cukup penting untuk dipahami karena akan selalu digunakan dalam
mempelajari taksonomi hewan. Pemahaman konsep
yang benar akan sangat membantu dalam pelaksanaan studi tentang
taksonomi.
A. Taksonomi dan Sistematika
Untuk dapat mengetahui dan mamanfaatkan makhluk
hidup di sekitar kita sebaik-baiknya, kita perlu mempelajarinya. Makhluk hidup
yang ada di bumi ini sangatlah banyak sehingga tidaklah mudah untuk
mempelajarinya satu persatu setiap individu. Oleh karena itu, diperlukan suatu
metode yang dapat digunakan untuk mempelajari keanekaragaman makhluk hidup yang
ada.
Metode yang saat ini dianggap dapat membantu
mempelajarinya adalah dengan membuat pengelompokan dari keanekaragaman yang
ada. Dari kelompok-kelompok yang lebih kecil inilah kita dapat lebih mudah
untuk mengkajinya. Untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat, pengelompokan tersebut
tidak boleh asal-asalan, namun harus memiliki landasan atau dasar yang benar.
Setiap makhluk hidup memiliki
ciri-ciri tersendiri. Sebagian ciri
tersebut mungkin berbeda dengan kelompok makhluk lain, namun bisa saja ada yang
sama. Untuk kepentingan kajian atas berbagai makhluk hidup, dibuatlah
pengelompokan-pengelompokan makhluk hidup, yang dilakukan atas dasar adanya persamaan dan perbedaan ciri.
Dari kegiatan pengelompokkan makhluk hidup,
konsekuensinya adalah akan di hasilkan beberapa kelompok yang lebih kecil. Dari
setiap kelompok yang terbentuk, barulah diambil beberapa objek sebagai sampel
yang mewakili suatu kelompok untuk dijadikan bahan kajian guna mempelajari
berbagai sifat dari kelompok tersebut. Kegiatan atau aktivitas pengelompokkan
tersebut dinamakan klasifikasi. Jadi, dengan kata lain pengertian klasifikasi
adalah kegiatan pengelompokan.
Hasil dari proses pengelompokan-pengelompokan
tersebut, diperoleh “hasil pengelompokan”
berupa beberapa kelompok lebih kecil yang terbentuk. Selanjutnya,
kelompok-kelompok hasil kegiatan pengelompokan itulah yang disebut takson.
Dengan kata lain, takson adalah kelompok-kelompok hasil dari kegiatan klasifikasi.
Pada dasarnya takson-takson
tersebut adalah subjek yang dipelajari dalam kajian taksonomi hewan, maka dari
istilah takson ini akhirnya muncul pengertian lain, yaitu ilmu yang mempelajari tentang takson. Selanjutnya,
dari dasar kata takson dikembangkan menjadi istilah taksonomi (dari kata:
taxis=arrangement; nomos=law).
Secara singkat, bidang kajian taksonomi adalah
keanekaragaman makhluk hidup. Dalam melakukan klasifikasi, perlu landasan teori
sebagai dasar untuk melakukan aktivitas atau praktek pengelompokan.
Selanjutnya, atas dasar hal tersebut istilah taksonomi didefinisikan sebagai teori dan praktek klasifikasi
organisme.
Dalam pengertian taksonomi
tersebut, terkandung 2 aspek yang penting, yaitu aspek :
- aspek klasifikasi - karena
ada kegiatan pengelompokan,
- aspek tatanama - karena harus memberi
nama untuk takson hasil pengelompokan
tersebut sebagai identitas.
Antara satu takson dengan
takson yang lain yang sama-sama merupakan hasil dari klasifikasi, masing-masing
dapat dibedakan dalam kelompok yang berbeda karena adanya berbagai perbedaan, atau dimasukkan dalam satu
kelompok karena adanya persamaan.
Banyak sedikitnya perbedaan akan memperlihatkan jauh dekatnya hubungan
kekerabatan. Semakin banyak persamaan ciri dua kelompok, maka hubungan
kekerabatan kedua kelompok tersebut semakin dekat, demikian juga sebaliknya.
Apabila takson takson yang ada
kemudian kita hubungkan satu dengan yang lain, maka akan kita peroleh suatu
hubungan kekerabatan di antara takson tersebut. Mungkin saja, ada yang
hubungannya dekat karena cirinya mirip, sebaliknya hubungannya jauh karena ciri
yang mirip sangat sedikit. Pada saat kita mempelajari takson-takson yang
dikaitkan dengan hubungan kekerabatan, berarti kita telah mengkajinya dengan
melihat adanya suatu sistem-sistem tertentu yangg akan memberi informasi
tentang jauh dekatnya hubungan tersebut. Pada tahap ini, sesungguhnya kajian ini telah masuk
ke dalam ilmu lain. Ilmu yang mempelajari hal ini adalah sistematika. Jadi, sistematika adalah ilmu yang mempelajari
keanekaragaman makhluk hidup beserta hubungan kekerabatan yang terdapat di
antaranya.
Secara umum pengertian sistematika lebih luas
dibandingkan dengan taksonomi, karena sudah mencakup pola-pola hubungan
kekerabatan. Ilmu ini semakin berkembang setelah berkembangnya pula tentang
teori evolusi dan perkembangan ilmu biologi yang semakin pesat, terutama
tentang biologi molekuler.
B. Klasifikasi dan Identifikasi
Klasifikasi adalah kegiatan pengelompokan.
Jadi, harus ada sekelompok organisme yang jumlahnya lebih dari satu sehingga dapat
dibuat kelompok-kelompok yang lebih kecil. Pengelompokan terseut dilakukan atas
dasar persamaan dan perbedaan ciri yang dimiliki. Dengan kata lain,
pekerjaan klasifikasi dilakukan pada
level populasi. Dalam aktivitas klasifikasi, sebenarnya dilakukan beberapa
aktivitas. Aktivitas dalam klasifikasi adalah sebagai berikut.
Grouping adalah mengelompokkan beberapa organisme atas
dasar persamaan dan perbedaan menjadi beberapa takson.
Ranking adalah menyusun organisme hasil pengelompokkan dalam level-level
kelompoknya, sehingga ada kelompok yang besar dengan ciri yang sangat umum dan
ada pula kelompok kecil yang memiliki ciri-ciri lebih spesifik.
Placing adalah menempatkan hasil pengelompokkan ke dalam
kelompok yang tepat sesuai dengan ciri ciri yang dimiliki.
Untuk memudahkan komunikasi ilmiah, satu individu
makhluk hidup harus memiliki identitas atau nama. Apabila belum diketahui
identitasnya maka harus dicari. Kegiatan
mencari identitas ini disebut identifikasi.
Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain mencocokkan
dengan spesimen yang sudah ada dan menggunakan referensi yang berisi tatacara
determinasi. Karena objek dari identifikasi adalah spesimen tunggal maka pekerjaan
ini dilakukan pada level individu.
C. Takson, Kategori, dan Hierarki klasifikasi
Aktivitas klasifikasi akan menghasilkan
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Kelompok-kelompok hasil klasifikasi disebut
takson. Hasil pengelompokan ini
memiliki ruang lingkup yang besarnya berbeda-beda. Besar kecilnya ruang lingkup
takson sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang digunakan sebagai dasar pembedanya.
Jadi, kadang- kadang ada takson yang ruang lingkupnya besar karena naggotanya
banyak, namun ada juga yang sebaliknya. Menurut
Mayr (1991), takson didefinisikan
sebagai kelompok organisme yang nyata
yang telah dikenal dan merupakan unit formal dari berbagai level dalam hierarki
klasifikasi.
Setiap aktivitas klasifikasi
akan menghasilkan kelompok-kelompok yang lebih kecil pada level di bawahnya.
Berbagai level atau tingkatan-tingkatan takson, apabila hasilnya disusun dapat
membentuk suatu tingkatan tertentu yang secara formal dikenal dengan istilah kategori. Dalam
tatanama hewan, dikenal berbagai kategori. Contohnya, kategori filum, kelas,
ordo, familia, genus, dan spesies. Perhatikan bagan berikut.
Ordo
|
|||||||
familia
|
Familia
|
||||||
genus
|
genus
|
genus
|
Genus
|
||||
Species
|
species
|
species
|
species
|
species
|
species
|
species
|
species
|
Setiap kategori akan memiliki anggota yang tidak lain adalah takson. Apabila setiap kategori dan takson disusun dalam rangkaian yang urut dan
hierarkis maka akan membentuk suatu rangkaian yang bertingkat tingkat atau
membentuk hierarki. Oleh karena itu, urutan dari berbagai tingkatan tersebut
dinamakan hierarki klasifikasi.
Berikut ini contoh sebuah hierarki klasifikasi dari burung penguin.
Kingdom : Animalia
Fillum : Chordata
Super kelas : Tetraphoda
Kelas : Aves
Ordo :
Sphesniciformes
Familia : Sphesnicidae
Genus : Aptenodytes
Spesies : Aptenodytes forsteri
Untuk istilah-istilah di deretan kiri (kingdom, filum,
superkelas, kelas, ordo, familia, genus, spesies) adalah nama kategori.
Sementara itu deretan istilah sebelah kanan (animalia, chordata, tetraphoda,
aves, sphesnisciformes, sphesniscidae, Aptenodytes,
dan Aptenodytes forsteri) adalah nama
takson. Sementara itu, secara keseluruhan membentuk suatu hierarki klasifikasi.
D. Kategori dalam Tatanama Hewan
Kategori dalam tatanama hewan
sebenarnya cukup banyak. Kategori yang secara formal telah disepakati (urut
dari yang tertinggi ke terendah) adalah sebagai berikut.
kingdom
phyllum
sub-phyllum
super-class
class
sub-class
cohort
super-ordo
ordo
sub-ordo
super-familia
familia
sub-familia
tribe
genus
sub-genus
super-species
species
sub-species
Dari beberapa kategori tersebut, ada beberapa
kategori yang lebih sering digunakan secara luas, yaitu phyllum, class, ordo, familia,
genus, species, dan sub species. Untuk
kategori yang lain penggunaannya agak jarang.
Secara umum, kategori-kategori tersebut dibedakan
menjadi 3 kelompok besar, yaitu kategori:
-
spesies (species category)
-
kategori di atas spesies (higher category)
-
kategori di bawah spesies (lower category).
Apabila diperhatikan, terlihat bahwa pokok dari pembagian tersebut adalah kategori spesies. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kategori spesies merupakan kategori yang sangat penting.
Mengapa kategori spesies begitu penting dalam taksonomi
hewan?
Kategori spesies merupakan kategori yang sangat
penting dalam kajian taksonomi hewan. Hal ini karena kategori ini merupakan
objek biologi yang sesungguhnya, yang secara riil merupakan objek yang dilihat
dan dipelajari dalam studi taksonomi hewan. Dalam keseharian kita, apabila
kita mempelajari hewan, sebenarnya yang kita pelajari adalah selalu pada level
spesies. Sebagai gambaran, misalnya kita mempelajari katak sawah atau Rana sp.
Sebenarnya objek yang diamati
atau dikaji adalah takson Rana sp dan
bukan takson Amphibia. Walaupun demikian, berdasarkan ciri yang dimiliki, Rana sp
merupakan anggota atau bagian dari kelompok Amphibia.
E. Konsep Spesies
Dari waktu ke waktu pengertian spesies terus
bekembang. Pada saat ini ada lebih dari 32 konsep tentang spesies yang telah
dikemukakan oleh para ahli. Setiap konsep yang ditawarkan masing-masing ada
kelebihan dan kekurangannya. Dari sekian banyak konsep tersebut, ada beberapa
konsep penting yang perlu diketahui.
Konsep ini merupakan konsep spesies yang paling sederhana. Konsep spesies tipologis menjelaskan bahwa setiap individu adalah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada saling keterkaitan antara satu dengan yang lain. Setiap satu tipe organisme merupakan satu spesies. Setiap variasi spesies hanya dianggap sebagai bentuk yang tidak sempurna dari tipusnya. Sebagai contoh, yang dimaksud ular adalah sebuah organisme dengan bentuk seperti ular (silindris memanjang), tidak peduli bahwa ular pun terdiri dari bermacam macam bentuknya, atau sebaliknya yang berbentuk silindris memanjang tidak hanya ular.
Konsep ini mengacu pada paham nominalistik. Menurut konsep ini, spesies itu sebenarnya tidak ada, yang ada di alam adalah individu-individu yang saling terpisah. Kalaupun ada pengelompokan atau kaitan-kaitan, semuanya hanya dianggap sebagai hanya khayalan atau pemikiran manusia saja.
Konsep ini mengacu pada suatu hal terutama dikaitkan dengan isolasi reproduksi dan interbreeding. Menurut konsep ini, spesies adalah sebuah populasi alamiah yang dapat saling interbreeding dan terdapat isolasi reproduksi dengan populasi yang lain. Sampai saat ini, konsep inilah yang dipakai secara luas karena kelemahannya paling sedikit dan dapat menjawab berbagai masalah biologi dengan baik. Sebagai contoh, dapat dilihat bahwa antara gajah asia dan gajah afrika berbeda spesies walaupun bentuknya mirip sehingga tidak akan pernah terjadi interbreeding.
Konsep ini dikemukakan karena adanya kasus-kasus yang menunjukkan bahwa pada kenyataanya di alam banyak hewan yang berkembang biak dari induk tunggal. Dan hal ini tidak bisa dijelaskan dengan konsep spesies biologi. Sebagai contoh pada lebah yang berkembang biak dengan cara parthenogenesis atau pada hewan hermafrodit yang bersifat self-fertilization.
F. Kategori di Atas Spesies
Kategori-kategori di atas spesies adalah mulai dari
kategori super-spesies sampai kingdom. Berbagai jenis (spesies) hewan yang
memiliki ancestor yang sama dan memiliki banyak persamaan sifat merupakan satu
kelompok yang disebut genus.
Beberapa genus yang berasal dari moyang yang sama akan merupakan satu kelompok
yang disebut familia. Demikian
seterusnya, sampai akan membentuk kelompok yang terbesar, yaitu dunia hewan
(animalia)
G. Kategori di Bawah Spesies
Secara formal, dalam tatanama hewan hanya mengenal
satu kategori di bawah kategori spesies, yaitu sub-spesies. Sub-spesies
didefinisikan sebagai kelompok anggota
suatu spesies yang sama yang secara fenotip hampir sama, namun hidup atau
memiliki habitat yang secara geografis terpisah dan berbeda sehingga secara
taksonomis dapat dibedakan. Dari pengertian tersebut, terbentuknya
sub-spesies karena adanya isolasi
geografis yang lama sehingga ciri-ciri taksonomisnya menjadi berbeda.
Walaupun secara formal menurut tatanama hewan
kategori terendah adalah sub-spesies, namun dalam pemakaian sehari-hari untuk
mempermudah aplikasi dari perbedaan-perbedaan yang ada, masih banyak digunakan
istilah lain. Istilah yang dapat membantu tersebut, antara lain varietas, ras, forma, dan kline.
III.
TATANAMA HEWAN
Dengan adanya kesepakatan mengenai aturan tertentu,
kesalahpahaman komunikasi dalam penyebutan nama hewan dapat diminimalkan. Untuk
itulah maka dibuatlah aturan yang disebut tatanama hewan (zoological nomenclature). Nomenclature
diambil dari istilah nomen yang
artinya nama dan calare yang artinya
memanggil. Artinya, nomenclature atau tatanama adalah suatu tatacara untuk memanggil atau
memberi nama suatu kelompok
takson.
Pemberian nama pada suatu takson sebenarnya telah
lama dilakukan. Pada masa awal perkembangan ilmu taksonomi, nama tersebut masih
sederhana. Nama-nama tersebut sebagian
masih menggunakan bahasa lokal dan sulit dimengerti oleh masyarakat yang
berbahasa lain. Linnaeus merupakan salah satu tokoh yang meletakkan dasar-dasar
pemberian nama ilmiah yang modern. Dasar-dasar tatanama
tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul Critica Botanica (1737) dan Philosophica
Botanica (1751). Kemudian, secara bertahap banyak ahli lain yang ikut
melengkapi sistem tatanama yang ada, misalnya Fabricius melalui bukunya Philosophica Entomologica (1778).
Dalam perkembangannya, mulailah dibuat berbagai
kesepakatan yang aturannya dapat digunakan secara luas. Dimulai dari adanya Striclandian Code yang dibuat tahun 1843
yang dihasilkan oleh British Association Code, sampai akhirnya muncul berbagai
aturan yang lain. Sebagai contoh adanya aturan yang disebut Series of Propositions for Rendering the New Nomenclature of Zoology
Uniform and Permanet yang banyak
dipakai sejak tahun 1863.
Dalam kurun waktu yang lama, banyak sekali
aturan-aturan yang muncul sebagai hasil
kesepakatan oleh para ahli di seluruh dunia. Kesepakatan yang pada saat ini
telah disetujui oleh kalangan ilmiah internasional, dituangkan dalam sebuah aturan
yang diberi nama International Code of
Zoological Nomenclature (ICZN). ICZN inilah yang saat ini banyak digunakan
sebagai acuan untuk pemberian nama hewan.
ICZN dikeluarkan oleh suatu institusi yang diberi
nama International Comission on
Zoological Nomenclature. Untuk menyempurnakan tatanama, komisi tersebut
beberapa kali melakukan konggres untuk merevisi ICZN yang ada. Pada revisi ICZN
yang terakhir, akhirnya dikeluarkan aturan tatanama hewan yang tertuang dalam ICZN edisi ke-empat pada tahun 2000. ICZN edisi tahun 2000 inilah yang saat ini
disepakati sebagai dasar pemberian nama hewan yang berlaku.
A. Dasar-Dasar Penamaan Ilmiah
Nama-nama takson hasil
tatanama untuk selanjutnya disebut sebagai nama
ilmiah. Ada 3 landasan penting yang harus dipenuhi untuk sebuah nama ilmiah.
Nama
harus unik - Artinya, setiap nama hanya mengacu pada satu
macam kelompok organisme saja. Dengan kata lain, satu nama hanya untuk satu
takson. Jadi, tidak ada dua atau
lebih takson yang memiliki nama yang sama.
Nama
harus bersifat universal - Artinya, nama tersebut dapat dipakai, dapat
dipahami secara luas, dan diinterpretasikan terhadap objek yang sama di mana
saja berada.
Nama
harus stabil - Artinya, nama-nama
ilmiah tidak dengan mudah berubah-ubah sehingga tidak menimbulkan kesulitan
dalam pemakaian pada waktu yang berbeda.
Walaupun demikian, ada beberapa catatan untuk
ketiga syarat tersebut. Karena faktor sejarah dan perkembangan ilmu
pengetahuan, nama ilmiah pun seringkali harus ada perubahan. Perubahan ini
dilakukan sebagai revisi atas kekurang-akuratan penamaan spesies pada masa
terdahulu atau karena adanya penemuan fakta-fakta baru. Oleh karena itu, muncul
beberapa keadaan yang dikenal dengan
istilah sinonimi dan homonimi.
Mengapa nama ilmiah sering disebut juga dengan istilah nama latin?
Bahasa yang digunakan untuk nama ilmiah adalah
harus menggunakan bahasa dan huruf latin. Oleh karena itu, nama ilmiah
juga populer dengan sebutan nama latin. Karena adanya beberapa alasan, misalnya
terbatasnya kosa kata dalam bahasa latin, pemberian nama tempat untuk lebih
menjelaskan lokasi hidup hewan, dan penghargaan terhadap seseorang, dapat juga
digunakan bahasa dan istilah yang sebenarnya bukan berasal dari bahasa latin.
Namun demikian, karena aturan dalam ICZN nama ilmiah harus menggunakan bahasa latin maka nama nama yang
digunakan tersebut harus sudah dilatinkan atau dianggap sebagai bahasa latin.
Namun, tentunya setelah diadaptasikan dalam bahasa latin.
B. Penamaan Takson
Bagaimana
cara memberi nama suatu takson?
Untuk penamaan takson ada beberapa aturan yang
disepakati. Dasar penamaan takson yang penting untuk dipahami, antara lain
sebagai berikut.
1.
Untuk nama takson yang formal harus ditulis dalam
bahasa asli seperti apa adanya, tidak
dapat diadaptasi atau ditulis dengan bahasa serapan setempat. Misalnya, Cyprinus carpio, amphibia, reptilia, dan
lepidoptera, harus selalu ditulis sesuai aslinya. Jadi, Cyprinus
carpio tidak boleh ditulis dengan bahasa Indonesia menjadi siprinus karpio.
Walaupun
demikian, apabila untuk nama sebutan anggota takson dapat disesuaikan dengan bahasa lokal. Contoh nama
takson yang formal adalah Amphibia
(harus ditulis apa adanya), sedangkan nama sebutan anggotanya dapat
disesuaikan, misalnya ampibi, amfibi, amphibians, atau yang lain.
2. Nama ilmiah ditulis dalam bahasa latin. Nama ilmiah
tidak perlu diakhiri dengan titik, kecuali titik sebagai penutup kalimat.
3.
Penulisan nama ilmiah dapat menggunakan prinsip
uninominalisme, binominalisme, atau trinominalisme.
Kategori-kategori dalam
taksonomi hewan cukup banyak. Ada beberapa kategori yang penamaan takson-nya
memiliki aturan dalam secara khusus. Aturan formal penamaan takson sesuai ICZN
adalah sebagai berikut.
1. Penulisan untuk Kategori Genus sampai
Kingdom
Dari
kategori kingdom sampai genus menggunakan aturan uninominal atau satu
kata. Dari kategori kingdom sampai di atas genus, nama dapat ditulis dengan
huruf italics atau tegak. Sementara itu, untuk menuliskan nama genus harus dicetak dengan huruf italics atau ditulis miring. Contohnya, Hystrix, Pelecanus, Rana, dan Halcyon.
Untuk
mempermudah pengenalan nama takson pada kategori tertentu, sebenarnya telah
disepakati adanya istilah istilah tambahan sebagai penanda khusus. Sebagai
contoh, nama yang diakhiri dengan -iformes, -idea, dan -inae.
Nama yang diakhiri …..+ iformes menunjukkan nama kategori ordo
Nama
yang diakhiri …..+ oidea menunjukkan
nama kategori
super-familia
Nama
yang diakhiri ..…+ idae menunjukkan
nama kategori familia
Nama
yang diakhiri …..+ inae menunjukkan
nama kategori
sub-familia
Namun
demikian, belum semua nama takson mengikuti kesepakatan tersebut. Sampai saat
ini penggunaan nama dengan akhiran -inae
dan –idae sudah secara luas
digunakan. Untuk akhiran –iformes banyak digunakan sebagai nama ordo dalam
penamaan anggota takson pisces dan aves.
Bagaimana memberikan nama
untuk hewan yang saat ditemukan sudah berupa fosil?
Untuk
nama-nama yang akhirannya menggunakan tambahan ….-ites, …-ytes, dan …-ithes, menunjukkan bahwa saat hewan
tersebut diberi nama, sudah dalam keadaan menjadi fosil.
Penulisan nama kategori sub-genus menggunakan aturan trinominal atau terdiri atas tiga kata. Ketiga kata tersebut harus dicetak italics. Namun demikian, yang paling penting dari cara penulisannya pada nama kedua atau nama penunjuk sub-genus harus diberi tanda kurung. Nama sub genus semuanya ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama untuk nama genus dan penunjuk sub-genus ditulis dengan huruf kapital.
Penulisan untuk kategori spesies menggunakan aturan binominal atau terdiri atas dua kata. Kedua kata pada nama spesies harus dicetak dengan huruf italics atau dicetak miring. Nama spesies ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama dari kata pertama (nama genus) ditulis dengan huruf kapital. Contohnya adalah nama spesies untuk gajah afrika, yaitu Loxodontia africana.
Untuk kategori ini, nama ditulis dengan aturan trinominal atau terdiri atas tiga kata. Namun, sama sama mengunakan aturan trinominal, penulisannya berbeda dengan nama sub-genus.
Penulisan untuk Nama Sub-genus dengan Sub-spesies
Untuk nama ini, karena merupakan nama sub spesies yang juga memiliki nama sub genus maka bersifat tetranominal atau empat kata. Aturannya mengikuti aturan baik pada nama sub-genus maupun sub-spesies.
Contohnya Aedes
(Ochlerotatus) canadensis mathesoni
Jadi,
dari nama tersebut Aedes adalah nama
genus, Ochlerotatus adalah nama penunjuk sub genus, canadensis adalah nama spesifik, dan mathesoni adalah nama penunjuk sub-spesies.
6. Jenis-Jenis Nama
Semua
dasar penamaan takson harus mengacu pada ICZN yang berlaku. Nama-nama ilmiah yang sudah diterbitkan dengan
mengacu pada ICZN, maka nama tersebut masuk dalam kategori adalah:
nama yang dapat digunakan (available name),
nama yang sah (legitimate name), atau
nama yang valid (valid name).
Sementara
itu, nama-nama yang tidak mengacu pada aturan dalam ICZN disebut nama yang
tidak memiliki status dalam tatanama (nomen
nudum). Nama yang bersifat nomen nudum ini, termasuk yang diberikan sebelum
tahun 1931 dan atau tidak disesuaikan dengan ICZN.
Dalam
tatanama, sebenarnya dikenal beberapa sifat dari nama-nama takson yang pernah
diberikan. Beberapa jenis nama yang lain, antara lain sebagai berikut: nomen
novum, nomen conservandum, nomen trivial, vernacular name, nomen hybridum,
nomen oblitum, nomen protectum, vernacular name, pre linnaean name, dan
incertae cedis.
C. Penulisan Author
Pada saat kita membaca naskah ilmiah seringkali
kita menemukan nama spesies yang ditulis serangkai dengan author cukup panjang:
Graphium (Pathysa) macareus (Godart, 1918).
Apakah
nama author harus dicantumkan?
Bagaimana
cara menuliskannya?
Apa bedanya penulisan nama di atas dengan dengan
penulisan author berikut: Papilio gambrisius Cramer 1777?
Author adalah orang yang pertama kali
menerbitkan/mempublikasikan nama suatu spesies. Biasanya author hanya digunakan
untuk penulisan pada kategori spesies dan subspesies. Selain author,
kadang-kadang juga dituliskan tahun menerbitkan nama tersebut. Nama author dapat juga disingkat atau ditulis utuh.
Pencantuman nama author ini tidak harus selalu dilakukan, namun sangat
disarankan apabila digunakan untuk bidang-bidang taksonomi atau untuk
menghindari kesalahan. Cara penulisannya sebagai berikut
Contohnya Apis mellifera Linnaeus 1758
Berarti, nama Apis
mellifera dipublikasikan oleh Linnaeus pada tahun 1758.
Penulisan author tersebut
dapat juga ditulis menjadi:
Apis mellifera Linn.
Apis
mellifera L.
Untuk author dan tahun ditulis
dengan huruf tegak, bukan ditulis dengan huruf italics. Apabila
nama author yang disingkat harus diakhiri dengan tanda titik. Sangat
disarankan, apabila nama author belum atau tidak populer maka sebaiknya
penulisannya adalah lengkap atau tidak disingkat. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kesalahan.
Karena adanya revisi nama atau kondisi tertentu,
seringkali nama spesies diperbarui atau diubah. Namun demikian, untuk kemudahan
dalam menelusur untuk kepentingan ilmiah, menghindari kesalahpahaman, menelusur
sejarah penamaan, dan atau menghormati orang yang telah memberi nama
sebelumnya, maka penamaan author dalam kasus tertentu dapat ditulis sebagai
berikut.
1.
Apabila ada
author yang merevisi nama dan mengganti secara total dan diubah ke genus yang
berbeda maka author aslinya ditulis lebih dahulu dan diberi tanda kurung,
selanjutnya diikuti nama author yang baru. Misalnya sebagai berikut.
Limnatis nilotica
(Savigny) Moquin-Tandon
Artinya, objek atau specimen
tersebut sebelumnya telah diberi nama oleh Savigny. Namun, kemudian nama
specimen tersebut direvisi dan diubah oleh Moquin-Tandon dan diberi nama Limnatis nilotica. Jadi, nama Savigny
adalah author yang pertama memberi nama, dan Moquin-Tandon adalah author yang
telah merevisi. Dalam hal ini, nama savigny tetap diikutkan namun diberi tanda
kurung.
2.
Apabila ada
author yang menyempurnakan sebuah nama ilmiah dengan mengacu pada nama yang
telah ada sebelumnya, dan telah dilakukan telaah ulang, penulisannya
menambahkan kata sensu, sebagai
berikut.
Cancer pagurus Linnaeus sensu Latreille
Artinya, Linnaeus telah
memberi nama Specimen dengan nama Cancer
pagurus. Tapi, kemudian Laterille mengkaji ulang dan menyempurnakan, serta
mempublikasikannya, namun tidak mengubah nama. Jadi, Linnaeus adalah author
yang pertama memberi nama, sedangkan Latreille adalah author yang mensitasi
untuk menyempurnakan. Sensu
adalah istilah untuk menunjukkan bahwa author kedua mensitasi author pertama
3.
Apabila ada
perubahan nama dan diganti ke genus lain, namun yang mengganti authornya
sendiri maka pada nama penggantinya author ditulis dalam tanda kurung.
Artinya, Rudolphii menmberi
nama specimen pada awalnya dengan nama Taenia
diminuta. Kemudian dia merevisi sendiri nama yang pernah diberikan dan
akhirnya mengganti dengan nama baru yaitu Hymenolephis
diminuta. Kalau, nama yang digunakan adalah nama yang terbaru hasil revisi,
maka nama Rudolphii harus diberi tanda kurung untuk menunjukkan bahwa nama
specimen tersebut adalah nama yang baru. Jadi, Taenia diminuta Rudolphii setelah diubah ditulis menjadi:
Hymenolephis diminuta (Rudolphii)
D. Homonimi dan Sinonimi
Bagaimana
yang terjadi, andaikata ada hewan yang ternyata nama ilmiahnya ganda?
Karena sesuatu hal, dalam
penamaan suatu takson kadang kadang terjadi hal-hal yang tidak diduga.
Misalnya, salah identifikasi, atau publikasi nama yang sama oleh orang yang
berbeda secara tidak sengaja. Oleh karena itu, seringkali terjadi peristiwa
homonimy dan sinonimy.
Dari hasil penelitian terkini, mulailah muncul
perubahan perubahan yang diusulkan karena nama yang diberikan terdahulu
menunjukkan adanya bukti-bukti kesalahan, karena tidak sesuai dengan ciri ciri
seharusnya
Contohnya: Amoeba
proteus seharusnya menjadi Chaos
chaos
Amphioxus seharusnya menjadi Brachiostoma
Astacus seharusnya menjadi Potamobius
Limulus seharusnya menjadi Xiphosura
Nama-nama tersebut adalah
sinonim dari nama sebelumnya. Walaupun belum merata pemakaiannya, beberapa referensi
terbaru sekarang mulai menggunakan nama-nama yang baru tersebut. Untuk
menghindari kesalahan, seringkali penulisan nama diberi keterangan juga nama
sinonimnya. Salah satu kelompok hewan yang saat ini paling banyak memiliki nama
sinonim adalah dari kelompok serangga.
E. Spesimen Kunci dalam Penamaan Specimen
Mengapa individu hewan yang pertama kali
dideskripsi memiliki arti yang sangat penting sehingga harus disimpan baik
baik?
Setiap nama kategori familia selalu memiliki tipe
genus. Misalnya, familia cyprinidae tipe genusnya adalah cyprinus. Sementara
itu, setiap kategori genus juga memiliki tipe spesies. Misalnya, genus Panthera
tipe spesiesnya adalah Panthera tigris. Pada nama kategori spesies, nama
tersebut diberikan juga berdasarkan tipe specimen atau type series.
Tipe specimen tersebut sangat penting karena
merupakan reference points dari
setiap takson. Tipe specimen ini harus disimpan dengan baik karena akan selalu
menjadi pembanding apabila berkaitan dengan pemberian nama baru untuk specimen
yang lain.
Untuk memberi nama pada spesies diperlukan adanya
specimen kunci (reference points)
yang dideskripsi sbagai patokan untuk pemberian sebuah nama. Specimen kunci ini
harus disimpan dalam musium khusus. Fungsi dari specimen tipe ini, antara lain
sebagai landasan atau dasar untuk deskripsi, sebagai dasar standar pembanding
dengan tipe tipe yang lain, dan sebagai data pembanding yang tidak dimiliki
specimen lain. Beberapa stilah yang terkait spsimen kunci, antara lain sebagai
berikut.
Holotipe
- Merupakan satu specimen
yang digunakan oleh seorang author untuk memberi nama suatu spesies pada waktu
dilakukan “original description”.
Paratipe
- Merupakan kumpulan
beberapa specimen yang digunakan untuk memberi nama, yang digunakan untuk
mendukung holotipe nya.
Lectotipe - Merupakan satu dari beberapa specimen yang dianggap atau
ditunjuk sebagai holotipe karena holotipe nya belum ditentukan. Fungsinya sama dengan holotipe.
Paralelotipe
- Merupakan serangkaian
tipe specimen yang tersisa setelah lectotipenya ditunjuk atau ditentukan
menjadi holotipe.
Neotipe
- Merupakan specimen tipe
yang baru yang digunakan sebagai standar yang berfungsi sebagai paratipe atau
holotipe. Hal
ini dilakukan apabila holotipe atau paratipe rusak atau hilang sehingga harus
diganti yang baru.
Allotipe - Merupakan specimen tipe dari sederetan paratipe, namun yang jenis kelaminnya berbeda dengan yang menjadi holotipe.
Syntipe - Merupakan sederetan specimen tipe, namun belum ditentukan holotipenya sehingga menjadi tipe bersama.
Topotipe - Merupakan specimen tipe baru yang diambil dari tempat yang sama dengan dahulu holotipe diambil.
IV. CIRI
TAKSONOMI
A. Pengertian dan Fungsi
Mengapa
ciri taksonomi cukup penting dalam kegiatan klasifikasi?
Dalam ruang lingkup taksonomi
hewan, beberapa pekerjaan taksonomi dilakukan menggunakan pengamatan terhadap
berbagai ciri. Sebagai contoh, pekerjaan klasifikasi juga
menggunakan pengamatan atas ciri makhluk hidup. Pendekatan terhadap ciri
tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai yang paling sederhana,
misalnya hanya morfologi luar saja, sampai yang harus menggunakan alat bantu
berteknologi tinggi, misalnya uji DNA. Berbagai pendekatan ini, dilakukan
sesuai dengan kebutuhan.
Setiap makhkuk hidup memiliki ciri-ciri tersendiri.
Ciri-ciri tersebut sangat beragam, dan dapat menimbulkan berbagai perbedaan.
Perbedaan yang ada dapat muncul, antara lain karena pengaruh umur, jenis
kelamin, musim, morfologi, dan lain lain. Setiap takson pasti memiliki ciri
ciri yang menyebabkan takson tersebut berbeda dari takson yang lain. Namun
demikian, tidak setiap ciri dapat digunakan sebagai pembeda antara satu takson
dengan takson yang lain.
Beberapa ciri, kadang-kadang
tidak memiliki makna yang penting walaupun tampak menyolok. Misalnya, karena pengaruh
jenis kelamin antara ayam jantan dan betina pola warna bulu berbeda. Karena
pengaruh umur antara ulat, kepompong, dan kupu kupu, maka bentuk tubuhnya juga
berbeda. Karena pengaruh lingkungan, warna tubuh bunglon menjadi berubah-ubah.
Di sisi yang lain, adanya pola belang-belang pada kaki nyamuk cukup untuk
membedakan 2 kelompok nyamuk yang berbeda spesiesnya. Dalam kasus tersebut,
belang-belang pada kaki nyamuk dikatakan memiliki nilai taksonomis.
Ciri-ciri yang bernilai
taksonomis saja yang dapat digunakan sebagai pembeda takson, dan ini dikenal
dengan nama ciri taksonomis atau taxonomic character. Jadi yang
dimaksud ciri taksonomis adalah ciri atau atribut yang dimiliki oleh suatu
takson yang dapat membedakan atau digunakan untuk membedakan dengan takson yang
lain. Karena terkait dengan takson, maka ciri taksonomis ini harus
digunakan pada level populasi, bukan individu.
Mengapa
tidak semua ciri hewan dapat digunakan untuk pekerjaan taksonomi?
Penggunaan ciri-ciri ini haruslah sangat hati-hati.
Harus dipilih mana yang benar-benar memiliki arti
taksonomis. Contoh ciri-ciri yang tidak memiliki arti
taksonomis, antara lain dapat disebabkan oleh hal sebagai berikut.
Perbedaan umur dapat mempengaruhi penampilan morfologi, misalnya antara anak ayam, ayam muda, dan ayam jantan dewasa penampilannya sangat berbeda. Selain itu fase-fase kehidupan hewan yang mengalami metamorfosis juga memperlihatkan penampilam yang sangat berbeda. Misalnya, larva serangga dan bentuk dewasanya juga berbeda.
Perbedaan jenis kelamin juga dapat membuat penampakan hewan menjadi berbeda. Misalnya, antara ayam jantan dan betina, gajah asia jantan dan betina,serta ikan guppy jantan dan betina.
Perbedaan
habitat sering menyebabkan penampilan hewan juga berbeda, misalnya burung
kutilang di daerah ketinggian lebih dari 600 m dpl warnanya lebih cerah
daripada yang hidup di dataran rendah.
Musim
berpengaruh besar terhadap morfologi hewan karena terkait dengan adaptasi untuk
tujuan bertahan hidup. Sebagai contoh pada musim yang berbeda menyebabkan warna
rambut kelinci kutub berbeda. Warna rambut keinci saat musim panas adalah
cokelat gelap, dan dapat berubah menjadi abu-abu atau putih di saat musim
berganti menjadi musim dingin.
Perbedaan
jenis makanan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh. Sebagai contoh, pada
ikan warna tubuh sangat dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi.
Kehati-hatian ini sangat
diperlukan, karena di antara ciri taksonomi sendiri ada yang memiliki bobot
taksonomi yang tinggi dan rendah. Semakin tinggi bobot
taksonominya, semakin tinggi tingkat kepercayaan dari ciri tersebut. Ciri yang
berbobot tinggi biasanya ruang lingkupnya luas dan sangat stabil. Sebagai
contoh, bagi hewan ada tidaknya vertebrae merupakan ciri yang berbobot tinggi,
sebaliknya perbedaan pola warna kulit memiliki bobot yang rendah.
Pada umumnya ciri taksonomi yang berbobot tinggi
banyak digunakan untuk membedakan takson pada kategori ordo ke atas. Sementara
itu, ciri yang bobot taksonominya lebih rendah lebih banyak digunakan pada
kategori yang rendah.
Dalam menggunakan ciri taksonomi, harus
diperhatikan juga masalah adaptasi, sehingga dapat meminimalkan kesalahan yang
mungkin terjadi.
Adaptasi dapat menyebabkan
perubahan-perubahan ciri. Perubahan
tersebut dapat terjadi karena adanya penyesuaian terhadap lingkungan secara
keseluruhan (misalnya bentuk tubuh), adaptasi khusus (misalnya mimikri),
mekanisme isolasi (isolasi geografis), dan adaptasi karena kompetisi (bentuk
mulut ikan).
Apa fungsi dari ciri taksonomi?
Ada 2 fungsi utama dari ciri taksonomi, yaitu:
Pertama, ciri taksonomi memiliki fungsi sebagai aspek
diagnostik. Artinya, ciri tersebut akan menjadi ciri khas dari
takson tersebut. Dengan demikian tidak akan salah dengan takson yang lain.
Kedua , berfungsi sebagai indikator
kekerabatan. Artinya, dengan ciri-ciri yang
dimiliki dapat digunakan untuk melihat jauh-dekat hubungan kekerabatan antara
satu takson dengan takson yang lain.
Fungsi dari ciri taksonomi ini akan sangat
diperlukan pada saat kita melakukan kegiatan klasifikasi maupun identifikasi.
Karena pada saat kita melakukan dua kegiatan tersebut, sebenarnya kita akan
melakukan pengamatan dan selalu menggunakan ciri ciri taksonomi dari suatu
takson.
B.
Macam Ciri Taksonomi
Ciri taksonomi cukup banyak, namun secara umum
dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut.
1. Ciri Morfologi
Ciri morfologi adalah
ciri-ciri luar yang memiliki nilai taksonomi. Ciri
morfologi ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain sebagai
berikut.
2. Ciri Fisiologi
Ciri ini merupakan ciri-ciri yang bersifat fisiologis. Namun sayangnya, ciri ini sebagian besar sulit diawetkan dan agak sulit diamati. Namun demikian, dengan metode tertentu ciri ini dapat dideteksi sehingga dapat digunakan. Beberapa ciri fisiologi, antara lain sebagai berikut.
Produk-produk
metabolit, misalnya hasil-hasil
metabolisme tubuh. Hasil
sekresi tubuh, misalnya sekret dari kelenjar tertentu.
3. Ciri Ekologi
Ciri ini terkait dengan lingkungan atau habitat
tempat hidupnya. Ciri ciri ekologi meliputi, antara lain sebagai berikut.
4. Ciri Perilaku
Ciri perilaku adalah ciri yang muncul berupa perilaku
tertentu. Perilaku ini sangat erat kaitannya dengan lingkungan hidupnya, baik
biotik maupun abiotik. Misalnya perilaku musim kawin, perilaku pakan, dll.
Sebagai contoh, ada 2 jenis itik gunung yang hidup di daerah Pegunungan Dieng,
yang penampilannya sangat mirip. Keduanya hidup bercampur dalam satu koloni. Namun, pada saat musim kawin kedua jenis tersebut
baru akan kelihatan perbedaannya karena perilaku tarian kawin atau mating courtship-nya sangat berbeda.
5. Ciri Biokimia
Ciri ciri yang berupa proses biokimia tubuh. Ciri
ini agak mirip dengan fisiologi. Selain itu, ciri ini juga agak sulit
diawetkan. Contohnya reaksi enzimatik pada tubuh atau sekret, dan kandungan
protein pada berbagai macam telur burung.
6. Ciri Molekuler
Ciri ini merupakan perkembangan dari ciri biokimia,
namun diamati secara lebih spesifik pada aras molekuler. Misalnya struktur DNA,
profil protein, atau sekuensing DNA.
Sebagai contoh, banyak makhluk hidup yang ditemukan sudah dalam keadaan
sebagai fosil. Untuk kepentingan identifikasi, maka teknologi biologi molekuler
sangat membantu untuk menentukan identitasnya.
7. Ciri Geografis
Merupakan ciri yang muncul karena pengaruh kondisi
geografis. Ciri ini banyak digunakan
apabila dikaitkan dengan zoogeografi dan evolusi. Sebagai contoh, ikan tawes
yang hidup di sungai terbuka dan sungai bawah tanah dalam gua, memperlihatkan
ciri-ciri yang berbeda.
Untuk pekerjaan taksonomi, ciri apa yang sering
digunakan?
Sampai saat ini ciri yang
paling mudah diamati adalah ciri luar dari makhluk hidup. Dengan semakin
kompleksnya permasalahan tentang identifikasi maka beberapa ciri harus menggunakan alat bantu untuk mendeteksi
mulai digunakan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada
saat ini sangat berperan besar dalam pengamatan berbagai ciri taksonomi. Hal-hal yang terkait dengan pengamatan ciri
taksonomi yang dulu sulit dilakukan, banyak yang sekarang mulai dilakukan. Misalnya adanya mikroskup berkemampuan tinggi, teknik pengamatan DNA,
berbagai alat deteksi, komputer berkemampuan tinggi, dan lain lain.
Pada saat ini, perkembangan taksonomi modern telah
berkembang. Perkembangan ini ada kecenderungan bukan sekedar memperhatikan
tentang deskripsi, identifikasi, dan klasifikasi saja, namun mulai berusaha
memahami sejarah evolusi serta mekanismenya. Salah satu dasar yang penting digunakan untuk memahami
hal tersebut, kuncinya ada pada ciri taksonomi.
BAB
V
ISOLASI
REPRODUKSI
Bebagai jenis nyamuk sering ditemui hidup dalam satu area
yang sama. Akan tetapi, ternyata antar jenis nyamuk tersebut tidak saling
melakukan perkawinan, walaupun secara sepintas bentuk tubuh mereka sangat
mirip. Tidak terjadinya perkawinan tersebut karena antar jenis yang berbeda
terdapat isolasi reproduksi yang menyebabkan tidak terjadinya interbreeding.
Permasalahan yang terjadi pada nyamuk tersebut
merupakan suatu contoh bahwa, pada saat kita membicarakan masalah konsep
spesies biologi, salah satu faktor yang sangat erat kaitannya dengan konsep
tersebut adalah isolasi reproduksi.
A.
Pengertian Isolasi Reproduksi
Pada dasarnya pengertian isolasi reproduksi adalah suatu halangan yang menyebabkan dua atau lebih individu tidak dapat
melakukan interbreeding. Jadi, antar satu individu tidak dapat saling
melakukan perkawinan (interbreeding) karena terhambat oleh sesuatu hal.
Misalnya, berada pada tempat yang berbeda dan tidak mungkin bertemu atau musim
kawin berbeda-beda.
Bagaimana
isolasi reproduksi dapat terjadi?
Ada dua kategori utama tentang terjadinya isolasi reproduksi, yaitu
prezigotik dan post-zigotik. Isolasi prezigotik
terjadi sebelum zigot terbentuk. Isolasi ini dapat terjadi karena karena
populasi yang ada tidak sempat saling kawin. Tidak kawinnya hewan–hewan tersebut, antara lain
karena isolasi spatial, perilaku, temporal, dan mekanik. Sementara itu, pada isolasi post-zigotik sebenarnya sudah
terjadi perkawinan dan membentuk zigot. Akan tetapi, zigot yang terbentuk ada
yang tidak berkembang dan ada yang berkembang. Zigot yang berkembang ini
disebut hibrid. Hibrid ini pada
kenyataannya tidak mampu berkembang biak atau steril. Akibatnya tidak pernah
terbentuk populasi baru.
Pengertian isolasi
reproduksi tidak sekedar hanya adanya halangan yang menyebabkan tidak
terjadinya perkawinan. Namun, juga mencakup pada ketidak-mampuan makhluk hidup
menghasilkan keturunan yang fertil. Dengan demikian isolasi reproduksi
pengertiannya lebih luas, yaitu ketidak-mampuan suatu makhluk hidup untuk
membentuk suatu populasi yang lebih besar.
1. Isolasi Repproduksi Prezigotik
Isolasi pre-zigotik ini
akan mencegah terjadinya pembentukan zigot. Pada isolasi ini mungkin terjadi
perkawinan atau tidak terjadi perkawinan. Pada populasi yang sudah terjadi
perkawinan, zigot tidak pernah terbentuk. Pada populasi yang tidak memungkinkan
terjadi perkawinan, maka antara dua individu belum atau tidak melakukan kontak mating karena adanya halangan tertentu.
Pada dasarnya di antara
individu yang bersangkutan ada potensi untuk melakukan mating, namun tidak terjadi karena antara satu hewan dengan yang
lain terdapat isolasi. Isolasi prezigotik dapat terjadi karena beberapa hal,
antara lain sebagai berikut.
a. Isolasi Spatial
Isolasi spatial terjadi apabila dua populasi tidak
pernah bertemu satu dengan yang lain sehingga tidak pernah terjadi perkawinan.
Sebagai contoh, Gallus gallus di
pulau Jawa tidak pernah bertemu Gallus
gallus di pulau Sumatra sehingga tidak akan pernah terkadi perkawinan di
antara dua populasi tersebut.
Isolasi geografis terjadi karena adanya penghalang
(barrier) fisik yang memisahkan dua populasi. Isolasi ini menyebabkan antar
individu tidak pernah bertemu karena terhalang oleh penghalang geografis,
misalnya sungai, laut, gunung, dan gurun pasir. Akibatnya, apabila ada isolasi
secara geografis akan menyebabkan dua individu atau lebih tidak dapat saling
bertemu, dan tidak pernah terjadi perkawinan. Contohnya, ikan tawes di Jawa dan
di Kalimantan secara alamiah tidak akan pernah kawin karena tidak mungkin
bertemu (secara umum disebut species allopatrik).
Pada isolasi habitat, tidak terjadi pemisahan area atau
tidak ada jarak yang jauh yang memisahkan dua populasi. Namun demikian, antar
populasi tersebut memiliki habitat yang berbeda sehingga tidak pernah saling
bertemu.
Isolasi
temporal adalah penghalang yang terjadi karena pengaruh waktu kehadiran hewan yang
berbeda. Kehadiran yang berbeda pada lokasi yang sama menyebabkan individu
hewan juga tidak saling bertemu, akibatnya juga pernah terjadi perkawinan.
c. Isolasi Perilaku
Isolasi
perilaku ini terjadi pada suatu ekosistem yang dihuni oleh beberapa populasi
yang saling mirip pada area yang sama, namun tidak terjadi perkawinan. Populasi
yang berbeda tersebut memiliki perilaku kawin yang berbeda-beda pula, misalnya
dalam hal bersuara, dan pola courtships
display.
Pada
kondisi ini kadang-kadang ada dua jenis hewan yang mirip dan kekerabatannya
dekat memiliki kemauan untuk melakukan perkawinan, misalnya antara banteng dan
sapi. Namun demikian, secara alamiah perkawinan tersebut tidak terjadi. Isolasi
ini dapat terjadi karena ada halangan struktur tubuh, khususnya perbedaan
struktur alat kelaminnya yang tidak memungkinkan terjadinya transfer material
genetik. Misalnya karena alat kelamin berbeda strukturnya, hewan berbeda jenis
tidak saling kawin.
Pada
beberapa kasus, ada beberapa populasi yang sebenarnya tidak ada halangan untuk
saling kawin, namun tidak tidak pernah terjadi fertilisasi. Kemungkinan besar
hal tersebut terjadi karena pada hewan betina memiliki sistem immun yang akan
menolak sperma yang masuk, atau kadang-kadang sperma tidak mampu beradaptasi
pada lingkungan internal alat genitalia betina. Akibatnya, tidak pernah
terbentuk zigot.
2. Mekanisme Reproduksi Post-zigotik
Pada mekanisme ini sebenarnya tidak ada halangan
untuk melakukan kontak sehingga antara dua individu jantan dan betina sudah
terjadi perkawinan, namun tidak berhasil menghasilkan keturunan yang fertil.
Akibatnya, dari hasil perkawinan ini tidak pernah terbentuk populasi.
Ketidakmampuan menghasilkan keturunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain sebagai berikut.
Gamet-gamet
dari spesies yang berbeda apabila bersatu seringkali dapat terjadi fertilisasi
dan menghasilkan zigot hybrid, namun zigot ini bisanya bersifat abnormal. Zigot
ini jarang sekali yang mampu bertahan hidup.
Setelah terjadi kontak seksual, kemudian dilanjutkan
dengan fertilisasi. Selanjutnya, embrio yang dihasilkan akan berkembang. Namun
pada tahap ini, embrio tidak pernah berkembang sehingga tidak akan diperoleh
keturunan. Contohnya pada perkawinan antara sapi dan banteng.
c. F-1 hidup tapi steril
Setelah
terjadi fertilisasi, ada perkembangan embrio dan dihasilkan anak. Namun
demikian, setelah dewasa ternyata anak ini bersifat steril sehingga pada
saatnya nanti tidak dapat menghasilkan keturunan baru dan tidak pernah akan
membentuk populasi. Contohnya pada ayam bekisar.
Meskipun
pada proses ini, dihasilakan anak (F1) dan bersifat fertil, ternyata keturunan
berikutnya (F2) selalu steril atau tidak pernah hidup. Maka kondisi ini masih
dapat dikategorikan bahwa ada isolasi reproduksi pada parentalnya. Contohnya
pada burung tekukur dan perkutut.
B. Dampak Isolasi Reproduksi
Secara umum dampak dari adanya isolasi reproduksi
adalah antara individu jantan dan betina tidak dapat menghasilkan keturunan dan
tidak bisa membentuk populasi. Karena hibrid tersebut tidak memenuhi
kaidah-kaidah konsep spesies biologi, maka tidak pernah diberi ilmiah.
Kalaupun ada yang mampu menghasilkan keturunan dan
hidup biasanya juga bersifat fertil. Contoh yang cukup populer adalah hasil
perkawinan antara Gallus gallus dan Gallus varius yang menghasilakan ayam
yang kita beri nama ayam bekisar. Ayam ini steril sehingga tidak dapat
membentuk populasi, serta tidak diberi nama ilmiah.
Pada sisi lain, seringkali “pemaksaan-pemaksaan”
oleh manusia dengan mengawinkan jenis-jenis yang berbeda yang secara alami
sebenarnya ada isolasi reproduksi. Misalnya, mencampurkan hewan-hewan yang
sebenarnya habitatnya sangat terpisah jauh atau mengawinkan jenis-jenis yang
berbeda meskipun mirip.
“Pemaksaan” ini biasanya memiliki tujuan tertentu
untuk kepentingan tertentu pula. Sebagai contoh, untuk menghasilkan benih udang
galah yang baik, beberapa jenis udang Macrobrachium
dari beberapa wilayah di Indonesia
dikawinkan secara paksa. Hasilnya adalah benih udang galah (Macrobrachium rosenberghii) varian
GI-macro yang unggul dan produktif.
Adanya kenyataan bahwa apabila dipaksakan ternyata
ada beberapa spesies yang berbeda yang ternyata mampu berkembang biak. Hal tersebut “seolah-olah” menyebabkan adanya
ketidaksinkronan dengan konsep spesies biologi, padahal sebenarnya tidak
demikian. Namun demikian, konsep spesies biologi yang salah satu kata kuncinya
adalah menekankan “perkawinan terjadi
secara alamiah”, menyebabkan tidak ada kontradiksi perkawinan-perkawinan
karena pemaksaan dengan konsep spesies biologi.
Pada dampak yang lebih jauh,
isolasi reproduksi (terutama yang terpisah karena isolasi geografis) dapat
menyebabkan populasi yang terpisah menjadi inklusif dan tidak mendapatkan
aliran gen dari populasi yang lain. Perkawinan dalam populasi
kecil yang terisolasi terus-menerus, terutama pada habitat yang berbeda, dapat
mengakibatkan susunan gen yang ada menjadi inklusif dan bisa berbeda dengan
poluasi yang lain. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadi
spesiasi.
Itulah sebabnya, selama ini dugaan proses spesiasi
banyak terjadi pada tempat-tempat yang secara geografis terpisah dan memiliki
habitat yang berbeda. Keterpisahan dengan populasi induk dalam jangka waktu
lama sangat mungkin menyebabkan beberapa kelompok kecil menjadi sangat berbeda.
Pulau yang terpencil (seperti Pulai Nias dan Galapagos) serta gua-gua yang
dalam merupakan salah satu tempat yang ideal untuk mempelajari kemungkinan
adanya proses spesiasi.
2 komentar:
Penjelasannya sgt membabntu. terimakasih:)
Sama sama...
Posting Komentar