Rabu, 21 Januari 2015

SELEKSI BIRU PUTIH




Seleksi biru putih (blue-white screening) yaitu metode untuk memisahkan sel yang mengandung plasmid rekombinan dengan sel yang mengandung plasmid tanpa insert. Seleksi biru putih dilakukan untuk mengetahui keberhasilan proses ligasi atau keberadaan DNA sisipan. Metode ini menggunakan media yang mengandung X-gal dan IPTG (Isopropyl Thiogalactoside atau isopropyl beta-D-thiogalactopyranoside). Transforman yang dihasilkan ada yang berwarna biru dan putih, adanya warna biru karena senyawa X-gal dalam medium. Hasil transformasi terlihat bahwa koloni berwarna putih terbentuk pada cawan dengan penambahan X-gal dan IPTG serta pada kontrol positif tanpa perlakuan. X-gal adalah molekul yang mirip galaktosa, sedangkan IPTG merupakan inducer enzim β-galaktosidase. Hasil ini sesuai dengan literatur yang mengatakan, terbentuknya koloni berwarna putih ini berarti sel bakteri mengandung DNA plasmid rekombinan dan proses ligasi dinyatakan berhasil. Jika proses ligasi atau penyambungan fragmen DNA tidak berhasil ditandai dengan warna koloni berwarna biru, sehingga dapat dikatakan percobaan meligasikan dan transformasi fragmen DNA berhasil dilakukan karena terdapat koloni putih. Jika koloni berwarna biru artinya proses transformasi yang dilakukan tidak berhasil hal ini dapat terjadi karena ukuran insert terlalu kecil sehingga tidak mampu membuat gen lac-Z terinaktifasi atau posisi sisipan yang tidak tepat, dan insert  yang diklon bersifat meracuni bagi sel bakter.
 
Metode Seleksi Biru Putih
1. Pembuatan sel kompeten

Satu koloni bakteri Escherichia coli diambil dengan tusuk gigi steril dan dibiakkan dalam eppendorf yang berisi 500 μl TFB (Transformation Buffer). Resuspensi dilakukan terhadap tabung eppendorf (vortex). Selanjutnya, eppendorf diinkubasi di dalam es selama 5 menit dan disentrifuse pada 5000 rpm selama 5 menit. Endapan (pelet) hasil sentrifuse ditambahkan dengan 500 μl TFB dan diresuspensi atau divortex kembali. Setelah itu, ditambahkan 1/12 volume TFB dan DMSO ± 20,8 μl. Campuran diresuspensi dan kemudian diinkubasi di dalam es selama 10 menit. Hasil pelet di ambil dan di tambahkan kembali 500  μl TFB dan diresuspensi. Ditambahkan 1/12 volume TFB dan DMSO sebanyak 41,76 μl, di campur dan diinkubasi selama 10 menit. Sel kompeten di jadikan sebagai kontrol kemudian di tambahkan media LA yang dicampur dengan ampisislin. Setelah proses tersebut maka dilakukan proses ligas.

2.    Transformasi bakteri

Transformasi adalah ekspresi materi genetik asing yang masuk melalui dinding sel. Proses transformasi dilakukan dengan mencampurkan sekitar 50 μl sel kompeten dan 10 μl hasil ligasi lalu diinkubasi selama 20 menit. Pada dasarnya dinding sel berfungsi melindungi sel dari masuknya benda-benda asing termasuk DNA, tapi dalam kondisi tertentu, dinding sel ini bisa memiliki semacam celah atau lubang yang bisa dimasuki DNA. Sebetulnya ada lebih dari 1% spesies bakteri mampu melakukan transformasi secara alami, dimana mereka memproduksi protein-protein tertentu yang dapat membawa DNA menyeberangi dinding sel. Agar gen yang berupa fragmen DNA (insert) ini dapat masuk, maka DNA tersebut harus dibuat menjadi DNA plasmid terlebih dahulu dengan menyisipkannya pada suatu DNA vektor. Di dalam laboratorium, kita dapat membuat suatu bakteri menjadi kompeten (istilah untuk bakteri yang siap bertransformasi), misalnya dengan mendinginkannya pada larutan yang mengandung kation divalen seperti Ca2+ untuk membuat dinding sel menjadi berpori dan dapat dilalui oleh DNA plasmid. Dengan melakukan teknik ‘heat-shock‘. Sebanyak 50 μl sel kompeten diambil dan ditambahkan dengan 10 μl hasil ligasi, lalu diinkubasi di dalam es selama 20 menit. Campuran tersebut kemudian segera dipanaskan (heat shock) pada suhu 42oC selama 45 detik. Setelah perlakuan heat shock, campuran diinkubasi di dalam es selama 5 menit. Campuran ditambahkan dengan 100 μl YT dan diinkubasi kembali pada suhu 37oC kemudian dimasukkan ke dalam shaker dengan kecepatan 250 rpm selama 20 menit. Tahap akhir adalah bakteri disebar di atas media padat. Komposisi media pertama (kontrol +) adalah LA (Luria Agar), media kedua (kontrol -) berisi LA dan ampisilin, media ketiga (kontrol transformasi) berisi Luria Agar, X-gal, dan IPTG.

Keberhasilan Proses Transformasi
 Setiap sel termasuk bakteri memiliki sistem pertahanan diri terhadap benda asing termasuk DNA. Jika sel bakteri menemukan adanya DNA asing, maka enzim restriksi sebagai penjaga benteng akan memotong-motong DNA tersebut hingga menjadi pendek dan tak berfungsi lagi. Agar DNA plasmid yang ditransformasi tidak dicincang oleh enzim restriksi, maka ia harus memiliki bagian yang dinamakan ori atau Origin Of Replication yang dikenali oleh bakteri yang bersangkutan. Ori ini berfungsi ‘mengelabui’ bakteri agar tidak menganggapnya sebagai DNA asing. Ori juga merupakan signal agar bakteri tersebut dapat melakukan replikasi alias penggandaan DNA plasmid secara independen seiring dengan replikasi DNA genomny.

Umumnya bakteri tidak dapat hidup pada media yang mengandung antibiotik. Untuk itu pada DNA plasmid yang di transformasikan harus ada gen penyandi antibiotik resisten agar bakteri hostnya menjadi tahan hidup di media yang mengandung antibiotik. Bakteri yang tidak berhasil disusupi oleh plasmid akan mati dengan sendirinya. Proses transformasi dikatakan berhasil apabila rangkaian DNA yang diintroduksikan dapat disisipkan ke genom sel inang (bakteri), diekspresikan dan terpelihara dalam seluruh proses pembelahan sel berikutnya.

Reaksi ligasi tidak akan 100% berhasil menyambungkan vektor dan insert. Bisa saja terjadi vektor berligasi sendiri (vector self-ligation) atau justru insert yang berligasi sendiri (insert self-ligation). Insert biasanya disisipkan di pertengahan gen lac-Z yang merupakan penyandi lacZ-å subunit dari enzim ß-galactosidase subunit lainnya. lacZ-w subunit dihasilkan oleh gen yang terdapat pada kromosom bakteri hostnya. Enzim ini dapat memecah substrat seperti X-gal (suatu galaktosa yang dimodifikasi) menjadi galaktosa dan pre-chromophore 5-bromo-4-chloro-3-hydroxyindole yang selanjutnya dioksidasi menjadi 5,5′-dibromo-4,4′-dichloro-indigo yang berwarna biru. 
Jika gen Lac-Z  masih utuh, maka koloni bakteri akan berwarna biru akibat pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Jika insert berhasil disisipkan (diligasikan) dengan vektor, otomatis gen lac-Z nya akan terdistrupsi alias rusak dan ujung-ujungnya tidak mampu menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni bakteri akan berwarna putih. Jadi hanya koloni putih yang tumbuh pada media yang mengandung antibiotik dan X-Gal sajalah yang kemungkinan mengandung gen yang kita transformasikan (terjadi seleksi biru-putih).



BIOSISTEMATIKA (Taksonomi Modern) Part 1

#Materi kuliah 

  
          Cabang-cabang ilmu biologi yang saat ini berkembang, secara umum dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok ilmu dasar dan kelompok ilmu dengan objek tertentu. Kelompok ilmu dasar tediri atas cabang ilmu yang menjadi dasar dari kajian ilmu biologi, dengan tidak membatasi hanya pada objek tertentu saja. Sementara itu,  ilmu dengan objek tertentu terdiri atas cabang ilmu yang hanya membatasi mengkaji satu objek khusus saja, namun dikaji dari berbagai sudut pandang ilmu.
                                                        
Dalam kaitannya dengan cabang ilmu biologi, ilmu taksonomi hewan termasuk dalam kelompok ilmu dasar. Objek kajian ilmu taksonomi hewan mencakup semua hewan yang ada, mulai dari yang dianggap paling sederhana struktur tubuhnya, yaitu protozoa sampai yang paling kompleks struktur tubuhnya, yaitu mammalia.

A.     Tujuan Mempelajari Taksonomi Hewan
Taksonomi hewan erat kaitannya dengan keanekaragaman hewan. Jumlah jenis hewan sangat banyak. Pada saat ini, hewan-hewan yang sudah dikenal dan diberi nama lebih dari 1,7 juta jenis. Setiap tahun jumlah jenis yang baru ditemukan dan diidentifikasi selalu bertambah.

Apabila kita tidak mengenal keanekaragaman hewan yang ada, bagaimana kita dapat memelihara sekaligus memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia? Lantas, sebenarnya apa makna dari mempelajari ilmu taksonomi hewan?

Pada saat kita mempelajari taksonomi hewan, tidak sekedar mempelajari nama dan klasifikasi saja, namun juga akan terkait dengan ciri, sifat, dan fungsi-fungsi ekologisnya di alam. Pemahaman akan jalinan informasi yang ada pada suatu objek biologi amatlah penting untuk dipelajari. 

Pada saat mempelajari sebuah objek makhluk hidup, identitas dengan segala atribut yang melekat padanya amatlah penting sebagai titik tolak untuk kajian berikutnya. Dengan kata lain, identitas suatu hewan merupakan kunci pembuka untuk mengetahui berbagai informasi yang dimilikinya.

Berikut ini beberapa contoh yang menunjukkan penerapan dari kajian dalam taksonomi hewan.
Industri Farmasi - Di kawasan pantai di Indonesia terdapat banyak sekali hewan-hewan invertebrata. Salah satunya adalah Aplysia dactylomela. Hewan ini menghasilkan zat anti-mikrobia sehingga potensial dikembangkan untuk sebagai bahan dasar farmasi. Akan tetapi, sebelum sampai ke sebuah industri, lebih dahulu harus ada kajian yang mendasar, antara lain tentang akurasi identifikasi jenis, habitat, kemampuan reproduksi, dan kapasitas zat anti-mikrobia yang dihasilkan. Tanpa adanya informasi dasar tersebut, potensi dari Aplysia dactylomela akan sulit dikembangkan sesuai harapan.

Pengendalian Hama dan Penyakit - Pengendalian hama dari tanaman budidaya harus dilakukan dengan tepat supaya tidak salah sasaran atau menimbulkan dampak yang kurang baik bagi tanamannnya sendiri. Informasi tentang biologi hama sangat penting sebagai dasar dari pemberantasan hama. Sebagai contoh dalam penggunaan jenis bahan aktif insektisida, dosis, serta cara aplikasi yang tepat diperlukan informasi tentang biologi hama. Dengan demikian dampak negatif penggunaan insektisida -yang pada dasarnya merupakan racun- dapat diminimalkan.

Kontrol Biologi - Pemberantasan hama yang belum dikenal, penyelesaiannya menjadi sulit karena sifat-sifatnya belum diketahui. Oleh karena itu, perlu kajian yang mendalam tentang taksonominya. Dengan demikian, akan diperoleh landasan berpijak yang tepat untuk mempelajari berbagai sifat hama tersebut. Diharapkan pemberantasannya akan lebih efektif dengan sedikit efek samping.

Pemberantaan Vektor Penyakit - Pemberantasan nyamuk yang menjadi vektor penyakit malaria seringkali tidak dapat maksimal karena salah sasaran. Kesalahan ini terjadi karena beberapa nyamuk bersifat sibling spesies. Spesies-spesies sibling sangat mirip secara morfologi, namun beberapa sifatnya berbeda. Supaya pemberantasan nyamuk tersebut tepat sesuai dengan sasarannya, maka harus ada informasi lebih dahulu beberapa sifat atau karakter yang dimiliki nyamuk sasarannya.

Manajemen Kehidupan Liar - Untuk menjaga kelestarian dari hewan-hewan diperlukan berbagai informasi yang mendasar dari kehidupan hewan tersebut. Untuk itu, harus diketahui lebih dahulu sifat- sifat hewan yang akan dilestarikan. Untuk melestarikan harimau sumatra perlu dipertimbangkan luas area jelajahnya supaya upaya pelestarian lebih optimal.

Komersial - Produk-produk komersial dapat dihasilkan dari berbagai jenis hewan. Sebagai contoh madu dan sutera dihasilkan dari sekelompok serangga. Jenis serangga yang berbeda menghasilkan produk dengan kualitas yang berbeda pula. Untuk itu perlu mengenal lebih dalam tentang berbagai informasi biologi dari serangga tersebut.

Pengembangbiakan jenis jenis hewan peliharaan memerlukan informasi yang tepat mengenai karakteristik dari reproduksinya. Untuk mengetahui dengan tepat karakteristiknya, sebelumnya harus tahu lebih dahulu identitas hewan yang akan dikembangbiakkan.


B.     Sejarah Taksonomi Hewan

Ilmu taksonomi hewan sebenarnya sudah dipelajari sejak lama. Dari waktu ke waktu, ilmu taksonomi ini selalu berkembang. Secara sederhana, perkembangan ilmu taksonomi hewan dapat dibedakan dalam 3 periode.

Pertama - Periode ini adalah pada masa Hippocrates, Demokritus, dan Aristoteles yang rata rata hidup dalam rentang waktu 400-300 tahun SM. Mereka merupakan ahli-ahli yang banyak meneliti  hewan, namun hewan-hewan tersebut dipelajari hanya dalam ruang lingkup lokal saja. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, untuk seterusnya ilmu taksonomi selalu berkembang, dan perkembangan yang sangat pesat adalah sejak masa Linnaeus. Linnaeus telah meletakkan dasar-dasar ilmu taksonomi yang lebih modern. Prinsip dan pemikiran Linnaeus tersebut tertuang melalui bukunya yang berjudul Systema Naturae yang terbit tahun 1785.

Kedua - Periode kedua ini ditandai dengan munculnya pemikiran tentang evolusi. Setelah muncul dan berkembangnya teori evolusi, mulai muncul pula pemikiran dan hipotesis tentang keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Pada periode ini mulai dipelajari kemungkinan kaitan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, serta kemungkinan adanya perkembangan dari kelompok yang sederhana sampai yang lebih kompleks. Pada periode ini, mulai  muncul istilah filogeni yang menggambarkan perkembangan makhluk hidup dari yang paling sederhana sampai yang kompleks. Namun demikian, pada masa itu taksonomi masih memandang objek yang berupa hewan sebagai suatu individu saja.

Ketiga - Pada periode yang pertama dan kedua tersebut, spesies masih dipandang dalam pengertian individu. Namun demikian, pada periode yang ketiga ini spesies dipandang dalam ruang lingkup populasi. Hal ini ditandai dengan munculnya pengertian spesies biologi yang terkait dengan reproduksi. Oleh karena itu, masa ini juga dikenal sebagai periode populasi.

Seiring dengan perkembangan tekonologi maka beberapa permasalahan tentang nama suatu kelompok mulai muncul, terutama untuk tataran kategori rendah. Hal tersebut terjadi karena pada level tersebut banyak jenis yang morfologinya mirip namun sebenarnya berbeda dan sering terjadi ketidakakuratan identifikasi. Dengan berbagai metode yang baru, misalnya kajian tentang struktur protein serta DNA, maka banyak permasalahan ketidakakuratan identifikasi yang bisa diselesaikan.


C.     Arah Pendekatan Taksonomi Hewan
Sejalan dengan era perkembangan sains dan teknologi, maka berbagai metode baru banyak diaplikasikan dalam studi taksonomi hewan. Metode pendekatan yang modern juga mulai menyentuh berbagai karakter yang dapat menjawab adanya perbedaan perbedaan infraspesifik. Beberapa pendekatan tersebut, antara lain sebagai berikut.

Pendekatan Morfologi - Dalam metode ini pendekatan yang digunakan adalah kajian ciri-ciri morfologi.
Pendekatan Embriologis dan Fase Kehidupan - Sampai saat ini, diketahui bahwa selama dalam perkembangannya banyak hewan yang mengalami berbagai tahapan atau fase perkembangan. Ciri dari tiap fase kehidupan itulah yang dikaji sebagai ciri taksonomi.
Pendekatan Ethologi - Pendekatan perilaku juga penting dilakukan saat kita mengkaji tentang taksonomi. Antar-spesies yang berbeda banyak sekali yang memiliki perilaku yang berbeda, meskipun secara morfologi mereka cukup mirip. Pendekatan itulah yang digunakan sebagai ciri taksonomi.
Pendekatan Ekologi - Pendekatan ekologi merupakan salah satu metode yang cukup penting, apabila ditemukan beberapa kasus hewan yang memiliki morfologi hampir sama.
Pendekatan Sitologi - Dalam skala yang lebih kecil pengelompokan dalam taksonomi hewan dapat dilakukan atas dasar struktur sel-nya atau sitologi. Dalam kajian sitologi ini, termasuk hal-hal berikut ini: Susunan dan struktur gen, hibridisasi DNA, dan Studi kariyologi
Pendekatan Biokimia - Pada dasarnya prinsip pendekatan ini adalah menguji dan membandingkan kandungan material biokimia dalam tubuh hewan.
Taksonomi Numerik - Taksonomi numerik merupakan salah satu metode pengelompokan yang bebasiskan data-data numerik. Landasan pengelompokannya adalah dengan menumerikkan berbagai ciri yang dimiliki oleh hewan

II. PENGANTAR TAKSONOMI HEWAN

Istilah-istilah takson, taksonomi, sistematika, klasifikasi, kategori, dan identifikasi merupakan beberapa istilah yang banyak kita jumpai saat kita bekerja dalam suatu ruang lingkup yang berkaitan dengan taksonomi hewan. Selain itu, kita juga akan menggunakan beberapa konsep-konsep dalam taksonomi, antara lain spesies dan tatanama. Beberapa konsep tersebut tersebut cukup penting untuk dipahami karena akan selalu digunakan dalam mempelajari taksonomi hewan. Pemahaman konsep  yang benar akan sangat membantu dalam pelaksanaan studi tentang taksonomi.

A.     Taksonomi dan Sistematika


Untuk dapat mengetahui dan mamanfaatkan makhluk hidup di sekitar kita sebaik-baiknya, kita perlu mempelajarinya. Makhluk hidup yang ada di bumi ini sangatlah banyak sehingga tidaklah mudah untuk mempelajarinya satu persatu setiap individu. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk mempelajari keanekaragaman makhluk hidup yang ada.

Metode yang saat ini dianggap dapat membantu mempelajarinya adalah dengan membuat pengelompokan dari keanekaragaman yang ada. Dari kelompok-kelompok yang lebih kecil inilah kita dapat lebih mudah untuk mengkajinya. Untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat, pengelompokan tersebut tidak boleh asal-asalan, namun harus memiliki landasan atau dasar yang benar.

Setiap makhluk hidup memiliki ciri-ciri tersendiri.  Sebagian ciri tersebut mungkin berbeda dengan kelompok makhluk lain, namun bisa saja ada yang sama. Untuk kepentingan kajian atas berbagai makhluk hidup, dibuatlah pengelompokan-pengelompokan makhluk hidup, yang dilakukan atas dasar  adanya persamaan dan perbedaan ciri. 

Dari kegiatan pengelompokkan makhluk hidup, konsekuensinya adalah akan di hasilkan beberapa kelompok yang lebih kecil. Dari setiap kelompok yang terbentuk, barulah diambil beberapa objek sebagai sampel yang mewakili suatu kelompok untuk dijadikan bahan kajian guna mempelajari berbagai sifat dari kelompok tersebut. Kegiatan atau aktivitas pengelompokkan tersebut dinamakan klasifikasi. Jadi, dengan kata lain pengertian klasifikasi adalah kegiatan pengelompokan.

Hasil dari proses pengelompokan-pengelompokan tersebut, diperoleh “hasil pengelompokan” berupa beberapa kelompok lebih kecil yang terbentuk. Selanjutnya, kelompok-kelompok hasil kegiatan pengelompokan itulah yang disebut takson. Dengan kata lain, takson adalah kelompok-kelompok hasil dari kegiatan klasifikasi.

Pada dasarnya takson-takson tersebut adalah subjek yang dipelajari dalam kajian taksonomi hewan, maka dari istilah takson ini akhirnya muncul pengertian lain, yaitu ilmu yang mempelajari tentang takson. Selanjutnya, dari dasar kata takson dikembangkan menjadi istilah taksonomi (dari kata: taxis=arrangement; nomos=law).

Secara singkat, bidang kajian taksonomi adalah keanekaragaman makhluk hidup. Dalam melakukan klasifikasi, perlu landasan teori sebagai dasar untuk melakukan aktivitas atau praktek pengelompokan. Selanjutnya, atas dasar hal tersebut istilah taksonomi didefinisikan sebagai teori dan praktek klasifikasi organisme.

Dalam pengertian taksonomi tersebut, terkandung 2 aspek yang penting, yaitu aspek :
- aspek klasifikasi - karena ada kegiatan pengelompokan,
- aspek tatanama - karena harus memberi nama untuk takson hasil  pengelompokan  
                               tersebut sebagai identitas.

Antara satu takson dengan takson yang lain yang sama-sama merupakan hasil dari klasifikasi, masing-masing dapat dibedakan dalam kelompok yang berbeda karena adanya berbagai perbedaan, atau dimasukkan dalam satu kelompok karena adanya persamaan. Banyak sedikitnya perbedaan akan memperlihatkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Semakin banyak persamaan ciri dua kelompok, maka hubungan kekerabatan kedua kelompok tersebut semakin dekat, demikian juga sebaliknya.

Apabila takson takson yang ada kemudian kita hubungkan satu dengan yang lain, maka akan kita peroleh suatu hubungan kekerabatan di antara takson tersebut. Mungkin saja, ada yang hubungannya dekat karena cirinya mirip, sebaliknya hubungannya jauh karena ciri yang mirip sangat sedikit. Pada saat kita mempelajari takson-takson yang dikaitkan dengan hubungan kekerabatan, berarti kita telah mengkajinya dengan melihat adanya suatu sistem-sistem tertentu yangg akan memberi informasi tentang jauh dekatnya hubungan tersebut. Pada tahap ini, sesungguhnya kajian ini telah masuk ke dalam ilmu lain. Ilmu yang mempelajari hal ini adalah sistematika. Jadi, sistematika adalah ilmu yang mempelajari keanekaragaman makhluk hidup beserta hubungan kekerabatan yang terdapat di antaranya.

Secara umum pengertian sistematika lebih luas dibandingkan dengan taksonomi, karena sudah mencakup pola-pola hubungan kekerabatan. Ilmu ini semakin berkembang setelah berkembangnya pula tentang teori evolusi dan perkembangan ilmu biologi yang semakin pesat, terutama tentang biologi molekuler.

B.     Klasifikasi dan Identifikasi


Klasifikasi adalah kegiatan pengelompokan. Jadi, harus ada sekelompok organisme yang jumlahnya lebih dari satu sehingga dapat dibuat kelompok-kelompok yang lebih kecil. Pengelompokan terseut dilakukan atas dasar persamaan dan perbedaan ciri yang dimiliki. Dengan kata lain, pekerjaan  klasifikasi dilakukan pada level populasi. Dalam aktivitas klasifikasi, sebenarnya dilakukan beberapa aktivitas. Aktivitas dalam klasifikasi adalah sebagai berikut.
Grouping adalah mengelompokkan beberapa organisme atas dasar persamaan dan perbedaan menjadi beberapa takson.
Ranking adalah menyusun organisme hasil pengelompokkan dalam level-level kelompoknya, sehingga ada kelompok yang besar dengan ciri yang sangat umum dan ada pula kelompok kecil yang memiliki ciri-ciri lebih spesifik.
Placing adalah menempatkan hasil pengelompokkan ke dalam kelompok yang tepat sesuai dengan ciri ciri yang dimiliki.

Untuk memudahkan komunikasi ilmiah, satu individu makhluk hidup harus memiliki identitas atau nama. Apabila belum diketahui identitasnya maka harus dicari. Kegiatan mencari identitas ini disebut identifikasi. Identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain mencocokkan dengan spesimen yang sudah ada dan menggunakan referensi yang berisi tatacara determinasi. Karena objek dari identifikasi adalah spesimen tunggal maka pekerjaan ini dilakukan pada level individu.

C.     Takson,  Kategori, dan Hierarki klasifikasi

Aktivitas klasifikasi akan menghasilkan kelompok-kelompok yang lebih kecil. Kelompok-kelompok hasil klasifikasi disebut takson. Hasil pengelompokan ini memiliki ruang lingkup yang besarnya berbeda-beda. Besar kecilnya ruang lingkup takson sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang digunakan sebagai dasar pembedanya. Jadi, kadang- kadang ada takson yang ruang lingkupnya besar karena naggotanya banyak, namun ada juga yang sebaliknya.  Menurut Mayr (1991), takson didefinisikan sebagai kelompok organisme yang nyata yang telah dikenal dan merupakan unit formal dari berbagai level dalam hierarki klasifikasi.

Setiap aktivitas klasifikasi akan menghasilkan kelompok-kelompok yang lebih kecil pada level di bawahnya. Berbagai level atau tingkatan-tingkatan takson, apabila hasilnya disusun dapat membentuk suatu tingkatan tertentu yang secara formal dikenal dengan istilah kategori. Dalam tatanama hewan, dikenal berbagai kategori. Contohnya, kategori filum, kelas, ordo, familia, genus, dan spesies. Perhatikan bagan berikut.

Ordo
familia
Familia
genus
genus
genus
Genus
Species
species
species
species
species
species
species
species









Setiap kategori akan memiliki anggota yang tidak lain adalah takson. Apabila setiap kategori dan takson disusun dalam rangkaian yang urut dan hierarkis maka akan membentuk suatu rangkaian yang bertingkat tingkat atau membentuk hierarki. Oleh karena itu, urutan dari berbagai tingkatan tersebut dinamakan hierarki klasifikasi. Berikut ini contoh sebuah hierarki klasifikasi dari burung penguin.

Kingdom           : Animalia
Fillum               : Chordata
Super kelas       : Tetraphoda
Kelas                : Aves
Ordo                 : Sphesniciformes
Familia              : Sphesnicidae
Genus               : Aptenodytes
Spesies            : Aptenodytes forsteri

Untuk istilah-istilah di deretan kiri (kingdom, filum, superkelas, kelas, ordo, familia, genus, spesies) adalah nama kategori. Sementara itu deretan istilah sebelah kanan (animalia, chordata, tetraphoda, aves, sphesnisciformes, sphesniscidae, Aptenodytes, dan Aptenodytes forsteri) adalah nama takson. Sementara itu, secara keseluruhan membentuk suatu hierarki klasifikasi.

D.     Kategori dalam Tatanama Hewan

Kategori dalam tatanama hewan sebenarnya cukup banyak. Kategori yang secara formal telah disepakati (urut dari yang tertinggi ke terendah) adalah sebagai berikut.

kingdom
   phyllum
     sub-phyllum
       super-class
         class
           sub-class
             cohort
                super-ordo
                  ordo
                    sub-ordo
                      super-familia
                         familia
                          sub-familia
                            tribe
                              genus
                                sub-genus
                                  super-species
                                    species 
                                      sub-species

Dari beberapa kategori tersebut, ada beberapa kategori yang lebih sering digunakan secara luas, yaitu phyllum, class, ordo, familia, genus, species, dan sub species. Untuk kategori yang lain penggunaannya agak jarang. 

Secara umum, kategori-kategori tersebut dibedakan menjadi 3 kelompok besar, yaitu kategori:
- spesies (species category)
- kategori di atas spesies (higher category)
- kategori di bawah spesies (lower category).

Apabila diperhatikan, terlihat  bahwa pokok dari pembagian tersebut adalah kategori spesies. Hal tersebut menunjukkan bahwa kategori spesies merupakan kategori yang sangat penting.

Mengapa kategori spesies begitu penting dalam taksonomi hewan?

Kategori spesies merupakan kategori yang sangat penting dalam kajian taksonomi hewan. Hal ini karena kategori ini merupakan objek biologi yang sesungguhnya, yang secara riil merupakan objek yang dilihat dan dipelajari dalam studi taksonomi hewan. Dalam keseharian kita, apabila kita mempelajari hewan, sebenarnya yang kita pelajari adalah selalu pada level spesies. Sebagai gambaran, misalnya kita mempelajari katak sawah atau Rana sp.  Sebenarnya objek yang  diamati atau dikaji adalah takson Rana sp dan bukan takson Amphibia. Walaupun demikian, berdasarkan ciri yang dimiliki, Rana sp  merupakan anggota atau bagian dari kelompok Amphibia.


E.      Konsep Spesies


Dari waktu ke waktu pengertian spesies terus bekembang. Pada saat ini ada lebih dari 32 konsep tentang spesies yang telah dikemukakan oleh para ahli. Setiap konsep yang ditawarkan masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Dari sekian banyak konsep tersebut, ada beberapa konsep penting  yang perlu diketahui. 

1. Konsep Spesies Tipologis 
Konsep ini merupakan konsep spesies yang paling sederhana. Konsep spesies tipologis menjelaskan bahwa setiap individu adalah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada saling keterkaitan antara satu dengan yang lain. Setiap satu tipe organisme merupakan satu spesies. Setiap variasi spesies hanya dianggap sebagai bentuk yang tidak sempurna dari tipusnya. Sebagai contoh, yang dimaksud ular adalah sebuah organisme dengan bentuk seperti ular (silindris memanjang), tidak peduli bahwa ular pun terdiri dari bermacam macam bentuknya, atau sebaliknya yang berbentuk silindris memanjang tidak hanya ular.

Konsep ini jarang digunakan lagi pada saat ini karena ada kelemahan yang mendasar. Kelemahan tersebut adalah bahwa bentuk atau penampakan yang sama belum tentu aspek-aspek biologi yang lain juga sama, bahkan sangat berbeda sehingga banyak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Misalnya, meskipun bentuk habitatnya mirip ternyata ikan hiu dan lumba lumba sebenarnya merupakan kelompok yang sangat berbeda.

2. Konsep Spesies Nominalistik 
Konsep ini mengacu pada paham nominalistik. Menurut konsep ini, spesies itu sebenarnya tidak ada, yang ada di alam adalah individu-individu yang saling terpisah. Kalaupun ada pengelompokan atau kaitan-kaitan, semuanya hanya dianggap sebagai hanya khayalan atau pemikiran manusia saja.

Kelemahan mendasar dari konsep ini adalah tidak melihat bahwa kenyataannya di antara individu di alam seringkali membentuk kaitan kaitan tertentu, misalnya dalam hal kemampuan interbreeding. Sebagai contoh, ikan tawes dalam kelompok yang sama dapat saling interbreeding, sedangkan antara ikan dengan kelompok lain misalnya pesut tidak dapat saling interbreeding.

3. Konsep Spesies Biologi 
Konsep ini mengacu pada suatu hal terutama dikaitkan dengan isolasi reproduksi dan interbreeding. Menurut konsep ini, spesies adalah sebuah populasi  alamiah yang dapat saling interbreeding dan terdapat isolasi reproduksi dengan populasi yang lain. Sampai saat ini, konsep inilah yang dipakai secara luas karena kelemahannya paling sedikit dan dapat menjawab berbagai masalah biologi dengan baik. Sebagai contoh, dapat dilihat bahwa antara gajah asia dan gajah afrika berbeda spesies walaupun bentuknya mirip sehingga tidak akan pernah terjadi interbreeding.

Walaupun konsep spesies biologi saat ini banyak digunakan, namun konsep ini juga memiliki beberapa kelemahan. Hal tersebut menyangkut pada kata kunci reproduksi, alamiah, dan interbreeding. Kelemahan tersebut, antara lain sebagai berikut.

Banyak hewan yang berkembang biak secara uniparental, misalnya dengan cara parthenogenesis, self-fertilization, pseudogamy, dan reproduksi vegetatif. Hal tersebut menyebabkan konsep spesies biologi tidak bisa diterapkan. Kelemahan yang lain adalah tidak bisa menjelaskan tentang konsep spesies yang diterapkan pada hewan yang ditemukan hanya berupa fosil. Untuk hewan-hewan yang informasinya sangat sedikit juga sangat sulit untuk menggunakan konsep ini.

4. Konsep Spesies Evolusioner 
Konsep ini dikemukakan karena adanya kasus-kasus yang menunjukkan bahwa pada kenyataanya di alam banyak hewan yang berkembang biak dari induk tunggal. Dan hal ini tidak bisa dijelaskan dengan konsep spesies biologi. Sebagai contoh pada lebah yang berkembang biak dengan cara parthenogenesis atau pada hewan hermafrodit yang bersifat self-fertilization.

Beberapa ahli telah mengemukakan konsep ini, antara lain Grant (1971), Meglitsch (1954), dan Simpson (1961). Namun pandapat yang banyak digunakan secara luas saat ini adalah dari Wiley (1978) yang mendefinisikan spesies adalah suatu kelompok yang merupakan keturunan tunggal dari ancestornya yang membentuk populasi dan mampu menjaga kecenderungan evolusi yang terjadi. Konsep ini juga banyak digunakan untuk hewan-hewan yang sudah ditemukan dalam bentuk fosil atau specimen tunggal.

F. Kategori di Atas Spesies

Kategori-kategori di atas spesies adalah mulai dari kategori super-spesies sampai kingdom. Berbagai jenis (spesies) hewan yang memiliki ancestor yang sama dan memiliki banyak persamaan sifat merupakan satu kelompok yang disebut genus. Beberapa genus yang berasal dari moyang yang sama akan merupakan satu kelompok yang disebut familia. Demikian seterusnya, sampai akan membentuk kelompok yang terbesar, yaitu dunia hewan (animalia)

G. Kategori di Bawah Spesies

Secara formal, dalam tatanama hewan hanya mengenal satu kategori di bawah kategori spesies, yaitu sub-spesies. Sub-spesies didefinisikan sebagai kelompok anggota suatu spesies yang sama yang secara fenotip hampir sama, namun hidup atau memiliki habitat yang secara geografis terpisah dan berbeda sehingga secara taksonomis dapat dibedakan. Dari pengertian tersebut, terbentuknya sub-spesies karena adanya isolasi geografis yang lama sehingga ciri-ciri taksonomisnya menjadi berbeda.

Walaupun secara formal menurut tatanama hewan kategori terendah adalah sub-spesies, namun dalam pemakaian sehari-hari untuk mempermudah aplikasi dari perbedaan-perbedaan yang ada, masih banyak digunakan istilah lain. Istilah yang dapat membantu tersebut, antara lain varietas, ras, forma, dan kline.

 III. TATANAMA HEWAN

Dengan adanya kesepakatan mengenai aturan tertentu, kesalahpahaman komunikasi dalam penyebutan nama hewan dapat diminimalkan. Untuk itulah maka dibuatlah aturan yang disebut tatanama hewan (zoological nomenclature). Nomenclature diambil dari istilah nomen yang artinya nama dan calare yang artinya memanggil. Artinya, nomenclature atau tatanama adalah suatu tatacara untuk memanggil atau  memberi nama  suatu kelompok takson.

Pemberian nama pada suatu takson sebenarnya telah lama dilakukan. Pada masa awal perkembangan ilmu taksonomi, nama tersebut masih sederhana. Nama-nama tersebut sebagian masih menggunakan bahasa lokal dan sulit dimengerti oleh masyarakat yang berbahasa lain. Linnaeus merupakan salah satu tokoh yang meletakkan dasar-dasar pemberian nama ilmiah yang modern. Dasar-dasar tatanama tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul Critica Botanica (1737) dan Philosophica Botanica (1751). Kemudian, secara bertahap banyak ahli lain yang ikut melengkapi sistem tatanama yang ada, misalnya Fabricius melalui bukunya Philosophica Entomologica (1778).

Dalam perkembangannya, mulailah dibuat berbagai kesepakatan yang aturannya dapat digunakan secara luas. Dimulai dari adanya Striclandian Code yang dibuat tahun 1843 yang dihasilkan oleh British Association Code, sampai akhirnya muncul berbagai aturan yang lain. Sebagai contoh adanya aturan yang disebut Series of Propositions for Rendering the New Nomenclature of Zoology Uniform and Permanet  yang banyak dipakai sejak tahun 1863.

Dalam kurun waktu yang lama, banyak sekali aturan-aturan yang  muncul sebagai hasil kesepakatan oleh para ahli di seluruh dunia. Kesepakatan yang pada saat ini telah disetujui oleh kalangan ilmiah internasional, dituangkan dalam sebuah aturan yang diberi nama International Code of Zoological Nomenclature (ICZN). ICZN inilah yang saat ini banyak digunakan sebagai acuan untuk pemberian nama hewan.

ICZN dikeluarkan oleh suatu institusi yang diberi nama International Comission on Zoological Nomenclature. Untuk menyempurnakan tatanama, komisi tersebut beberapa kali melakukan konggres untuk merevisi ICZN yang ada. Pada revisi ICZN yang terakhir, akhirnya dikeluarkan aturan tatanama hewan yang tertuang dalam ICZN edisi ke-empat pada tahun 2000. ICZN edisi tahun 2000 inilah yang saat ini disepakati sebagai dasar pemberian nama hewan yang berlaku.

A. Dasar-Dasar Penamaan Ilmiah

Nama-nama takson hasil tatanama untuk selanjutnya disebut sebagai nama ilmiah. Ada 3 landasan penting yang harus dipenuhi untuk sebuah nama ilmiah.
Nama harus unik -  Artinya, setiap nama hanya mengacu pada satu macam kelompok organisme saja. Dengan kata lain, satu nama hanya untuk satu takson. Jadi, tidak ada dua atau lebih takson yang memiliki nama yang sama.
Nama harus bersifat universal -  Artinya, nama tersebut dapat dipakai, dapat dipahami secara luas, dan diinterpretasikan terhadap objek yang sama di mana saja berada.
Nama harus stabil - Artinya, nama-nama ilmiah tidak dengan mudah berubah-ubah sehingga tidak menimbulkan kesulitan dalam pemakaian pada waktu yang berbeda.

Walaupun demikian, ada beberapa catatan untuk ketiga syarat tersebut. Karena faktor sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan, nama ilmiah pun seringkali harus ada perubahan. Perubahan ini dilakukan sebagai revisi atas kekurang-akuratan penamaan spesies pada masa terdahulu atau karena adanya penemuan fakta-fakta baru. Oleh karena itu, muncul beberapa keadaan yang dikenal  dengan istilah sinonimi dan homonimi.

Mengapa nama ilmiah sering disebut juga dengan istilah nama latin?

Bahasa yang digunakan untuk nama ilmiah adalah harus menggunakan bahasa dan huruf latin. Oleh karena itu, nama ilmiah juga populer dengan sebutan nama latin. Karena adanya beberapa alasan, misalnya terbatasnya kosa kata dalam bahasa latin, pemberian nama tempat untuk lebih menjelaskan lokasi hidup hewan, dan penghargaan terhadap seseorang, dapat juga digunakan bahasa dan istilah yang sebenarnya bukan berasal dari bahasa latin. Namun demikian, karena aturan dalam ICZN nama ilmiah harus  menggunakan bahasa latin maka nama nama yang digunakan tersebut harus sudah dilatinkan atau dianggap sebagai bahasa latin. Namun, tentunya setelah diadaptasikan dalam bahasa latin.

B. Penamaan Takson

Bagaimana cara memberi nama suatu takson?
Untuk penamaan takson ada beberapa aturan yang disepakati. Dasar penamaan takson yang penting untuk dipahami, antara lain sebagai berikut.

1.       Untuk nama takson yang formal harus ditulis dalam bahasa asli seperti apa adanya, tidak dapat diadaptasi atau ditulis dengan bahasa serapan setempat. Misalnya, Cyprinus carpio, amphibia, reptilia, dan lepidoptera, harus selalu ditulis sesuai aslinya.  Jadi, Cyprinus carpio tidak boleh ditulis dengan bahasa Indonesia menjadi siprinus karpio.

Walaupun demikian, apabila untuk nama sebutan anggota takson dapat  disesuaikan dengan bahasa lokal. Contoh nama takson yang formal adalah Amphibia (harus ditulis apa adanya), sedangkan nama sebutan anggotanya dapat disesuaikan, misalnya ampibi, amfibi, amphibians, atau yang lain.

2.       Nama ilmiah ditulis dalam bahasa latin. Nama ilmiah tidak perlu diakhiri dengan titik, kecuali titik sebagai penutup kalimat.

3.       Penulisan nama ilmiah dapat menggunakan prinsip uninominalisme, binominalisme, atau trinominalisme.

Kategori-kategori dalam taksonomi hewan cukup banyak. Ada beberapa kategori yang penamaan takson-nya memiliki aturan dalam secara khusus. Aturan formal penamaan takson sesuai ICZN adalah sebagai berikut.

1.    Penulisan untuk Kategori Genus sampai Kingdom
Dari kategori kingdom sampai genus menggunakan aturan uninominal atau satu kata. Dari kategori kingdom sampai di atas genus, nama dapat ditulis dengan huruf italics atau tegak. Sementara itu, untuk menuliskan nama genus harus dicetak dengan huruf italics atau ditulis miring. Contohnya, Hystrix, Pelecanus, Rana, dan Halcyon.

Untuk mempermudah pengenalan nama takson pada kategori tertentu, sebenarnya telah disepakati adanya istilah istilah tambahan sebagai penanda khusus. Sebagai contoh, nama yang diakhiri dengan -iformes, -idea, dan  -inae.

Nama yang diakhiri …..+ iformes menunjukkan nama                                                           kategori ordo

Nama yang diakhiri …..+ oidea menunjukkan nama                                                            kategori super-familia                                                                       
Nama yang diakhiri ..…+ idae menunjukkan nama                                                              kategori familia
Nama yang diakhiri …..+ inae menunjukkan nama                                                              kategori sub-familia
                                                                           
Namun demikian, belum semua nama takson mengikuti kesepakatan tersebut. Sampai saat ini penggunaan nama dengan akhiran -inae dan –idae sudah secara luas digunakan. Untuk akhiran –iformes banyak digunakan sebagai nama ordo dalam penamaan anggota takson pisces dan aves.

Bagaimana memberikan nama untuk hewan yang saat ditemukan sudah berupa fosil?

Untuk nama-nama yang akhirannya menggunakan tambahan ….-ites, …-ytes, dan …-ithes, menunjukkan bahwa saat hewan tersebut diberi nama, sudah dalam keadaan menjadi fosil.

2.    Penulisan untuk Kategori Sub-genus 
Penulisan nama kategori sub-genus menggunakan aturan trinominal atau terdiri atas tiga kata. Ketiga kata tersebut harus dicetak italics. Namun demikian, yang paling penting dari cara penulisannya pada nama kedua atau nama penunjuk sub-genus harus diberi tanda kurung. Nama sub genus semuanya ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama untuk nama genus dan penunjuk sub-genus ditulis dengan huruf kapital.

Penulisan nama sub genus contohnya adalah Aedes (Stegomya) aegypti. Dalam rangkaian nama tersebut, kata yang dikurung atau Stegomya adalah nama penunjuk sub-genus. Sementara itu, untuk Aedes adalah nama genus dan aegypti adalah nama spesifik.

3.    Penulisan Nama Untuk Kategori Spesies 
Penulisan untuk kategori spesies menggunakan aturan binominal atau terdiri atas dua kata. Kedua kata pada nama spesies harus dicetak dengan huruf italics atau dicetak miring. Nama spesies ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama dari kata pertama (nama genus) ditulis dengan huruf kapital. Contohnya adalah nama spesies untuk gajah afrika, yaitu Loxodontia africana.

Dari nama spesies, untuk nama pertama adalah nama genus, nama kedua adalah nama spesifik, dan gabungan keduanya sebagai satu kesatuan adalah nama spesies.

4.    Penulisan untuk Kategori Sub-spesies 
Untuk kategori ini, nama ditulis dengan aturan trinominal atau terdiri atas tiga kata. Namun, sama sama mengunakan aturan trinominal, penulisannya berbeda dengan nama sub-genus.

Penulisan pada nama sub-spesies adalah huruf kapital hanya pada huruf pertama pada nama genus serta tidak ada tanda kurung. Susunannya adalah, kata pertama merupakan nama penunjuk genus, kata kedua merupakan nama penunjuk spesies, dan kata ketiga adalah nama penunjuk  sub-spesies.

Contohnya: Microtus montanus nanusDari nama tersebut, Microtus adalah nama genus, montanus adalah nama spesifik, dan nanus adalah nama penunjuk sub-spesies. Perhatikan bedanya dengan nama sub genus. 

Penulisan untuk Nama Sub-genus dengan Sub-spesies 
Untuk nama ini, karena merupakan nama sub spesies yang juga memiliki nama sub genus maka bersifat tetranominal atau empat kata. Aturannya mengikuti aturan baik pada nama sub-genus maupun sub-spesies. 
Contohnya  Aedes (Ochlerotatus) canadensis mathesoni
Jadi, dari nama tersebut Aedes adalah nama genus, Ochlerotatus adalah nama  penunjuk sub genus, canadensis adalah nama spesifik, dan mathesoni adalah nama penunjuk sub-spesies.

6.    Jenis-Jenis Nama

Semua dasar penamaan takson harus mengacu pada ICZN yang berlaku. Nama-nama ilmiah yang sudah diterbitkan dengan mengacu pada ICZN, maka nama tersebut masuk dalam kategori adalah:
nama yang dapat digunakan (available name),
nama yang sah (legitimate name), atau
nama yang valid (valid name).

Sementara itu, nama-nama yang tidak mengacu pada aturan dalam ICZN disebut nama yang tidak memiliki status dalam tatanama (nomen nudum). Nama yang bersifat nomen nudum ini, termasuk yang diberikan sebelum tahun 1931 dan atau tidak disesuaikan dengan ICZN.

Dalam tatanama, sebenarnya dikenal beberapa sifat dari nama-nama takson yang pernah diberikan. Beberapa jenis nama yang lain, antara lain sebagai berikut: nomen novum, nomen conservandum, nomen trivial, vernacular name, nomen hybridum, nomen oblitum, nomen protectum, vernacular name, pre linnaean name, dan incertae cedis.

C. Penulisan Author

Pada saat kita membaca naskah ilmiah seringkali kita menemukan nama spesies yang ditulis serangkai dengan author cukup panjang:  Graphium (Pathysa) macareus (Godart, 1918).
Apakah nama author harus dicantumkan?
Bagaimana cara menuliskannya?
Apa bedanya penulisan nama di atas dengan dengan penulisan author berikut: Papilio gambrisius Cramer 1777?

Author adalah orang yang pertama kali menerbitkan/mempublikasikan nama suatu spesies. Biasanya author hanya digunakan untuk penulisan pada kategori spesies dan subspesies. Selain author, kadang-kadang juga dituliskan tahun menerbitkan nama tersebut. Nama author dapat juga disingkat atau ditulis utuh. Pencantuman nama author ini tidak harus selalu dilakukan, namun sangat disarankan apabila digunakan untuk bidang-bidang taksonomi atau untuk menghindari kesalahan. Cara penulisannya sebagai berikut

Contohnya Apis mellifera Linnaeus 1758
Berarti, nama Apis mellifera dipublikasikan oleh Linnaeus pada tahun 1758.

Penulisan author tersebut dapat juga ditulis menjadi:       
                         Apis mellifera Linn.
                         Apis mellifera L.

Untuk author dan tahun ditulis dengan huruf tegak, bukan ditulis dengan huruf italics. Apabila nama author yang disingkat harus diakhiri dengan tanda titik. Sangat disarankan, apabila nama author belum atau tidak populer maka sebaiknya penulisannya adalah lengkap atau tidak disingkat. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan.

Karena adanya revisi nama atau kondisi tertentu, seringkali nama spesies diperbarui atau diubah. Namun demikian, untuk kemudahan dalam menelusur untuk kepentingan ilmiah, menghindari kesalahpahaman, menelusur sejarah penamaan, dan atau menghormati orang yang telah memberi nama sebelumnya, maka penamaan author dalam kasus tertentu dapat ditulis sebagai berikut.

1.       Apabila ada author yang merevisi nama dan mengganti secara total dan diubah ke genus yang berbeda maka author aslinya ditulis lebih dahulu dan diberi tanda kurung, selanjutnya diikuti nama author yang baru. Misalnya sebagai berikut.
Limnatis nilotica (Savigny) Moquin-Tandon
Artinya, objek atau specimen tersebut sebelumnya telah diberi nama oleh Savigny. Namun, kemudian nama specimen tersebut direvisi dan diubah oleh Moquin-Tandon dan diberi nama Limnatis nilotica. Jadi, nama Savigny adalah author yang pertama memberi nama, dan Moquin-Tandon adalah author yang telah merevisi. Dalam hal ini, nama savigny tetap diikutkan namun diberi tanda kurung.

2.       Apabila ada author yang menyempurnakan sebuah nama ilmiah dengan mengacu pada nama yang telah ada sebelumnya, dan telah dilakukan telaah ulang, penulisannya menambahkan kata sensu, sebagai berikut.
Cancer pagurus Linnaeus sensu Latreille
Artinya, Linnaeus telah memberi nama Specimen dengan nama Cancer pagurus. Tapi, kemudian Laterille mengkaji ulang dan menyempurnakan, serta mempublikasikannya, namun tidak mengubah nama. Jadi, Linnaeus adalah author yang pertama memberi nama, sedangkan Latreille adalah author yang mensitasi untuk menyempurnakan. Sensu adalah istilah untuk menunjukkan bahwa author kedua mensitasi author pertama

3.       Apabila ada perubahan nama dan diganti ke genus lain, namun yang mengganti authornya sendiri maka pada nama penggantinya author ditulis dalam tanda kurung.
Artinya, Rudolphii menmberi nama specimen pada awalnya dengan nama Taenia diminuta. Kemudian dia merevisi sendiri nama yang pernah diberikan dan akhirnya mengganti dengan nama baru yaitu Hymenolephis diminuta. Kalau, nama yang digunakan adalah nama yang terbaru hasil revisi, maka nama Rudolphii harus diberi tanda kurung untuk menunjukkan bahwa nama specimen tersebut adalah nama yang baru. Jadi, Taenia diminuta Rudolphii setelah diubah ditulis menjadi:
Hymenolephis diminuta (Rudolphii)

D. Homonimi dan Sinonimi

Bagaimana yang terjadi, andaikata ada hewan yang ternyata nama ilmiahnya ganda?
Karena sesuatu hal, dalam penamaan suatu takson kadang kadang terjadi hal-hal yang tidak diduga. Misalnya, salah identifikasi, atau publikasi nama yang sama oleh orang yang berbeda secara tidak sengaja. Oleh karena itu, seringkali terjadi peristiwa homonimy dan sinonimy.

Homonim adalah keadaan satu nama yang diberikan pada 2 takson yang berbeda. Contohnya: Nama Polimatis alexis diberikan untuk 2 jenis hewan yang berbeda. Setelah dilakukan identifikasi ulang, nama tersebut ternyata adalah nama yang sebenarnya diberikan untuk 2 jenis kupu kupu yang berbeda. Saat ini ke-2 jenis kupu kupu tersebut akhirnya diberi nama Polimatis astrache von Ruthernberg (kupu- kupu cokelat) dan  Polimatis carus Dennis (kupu-kupu biru).

Menurut sejarahnya, hal tersebut terjadi karena von Rutherberg dan Dennis mempublikasikan nama yang sama secara tidak sengaja karena Dennis berasal dari Inggris, sedangkan von Rutherberg dari Eropa daratan. Sementara pada saat itu akses informasi sangat terbatas.

Sinonim adalah keadaan dua nama diberikan satu takson yang sama. Contohnya adalah sejenis scorpion yang sama, di Inggris diberi nama genus Scorphios oleh Simon 1893, sedangkan genus yang sama di Amerika diberi nama Herphillus oleh Ernest 1832.

Dari hasil penelitian terkini, mulailah muncul perubahan perubahan yang diusulkan karena nama yang diberikan terdahulu menunjukkan adanya bukti-bukti kesalahan, karena tidak sesuai dengan ciri ciri seharusnya
Contohnya: Amoeba proteus seharusnya menjadi Chaos chaos
                   Amphioxus seharusnya menjadi Brachiostoma
      Astacus seharusnya menjadi Potamobius
      Limulus seharusnya menjadi Xiphosura

Nama-nama tersebut adalah sinonim dari nama sebelumnya. Walaupun belum merata pemakaiannya, beberapa referensi terbaru sekarang mulai menggunakan nama-nama yang baru tersebut. Untuk menghindari kesalahan, seringkali penulisan nama diberi keterangan juga nama sinonimnya. Salah satu kelompok hewan yang saat ini paling banyak memiliki nama sinonim adalah dari kelompok serangga.

E. Spesimen Kunci dalam Penamaan Specimen

Mengapa individu hewan yang pertama kali dideskripsi memiliki arti yang sangat penting sehingga harus disimpan baik baik?

Setiap nama kategori familia selalu memiliki tipe genus. Misalnya, familia cyprinidae tipe genusnya adalah cyprinus. Sementara itu, setiap kategori genus juga memiliki tipe spesies. Misalnya, genus Panthera tipe spesiesnya adalah Panthera tigris. Pada nama kategori spesies, nama tersebut diberikan juga berdasarkan tipe specimen atau type series.

Tipe specimen tersebut sangat penting karena merupakan reference points dari setiap takson. Tipe specimen ini harus disimpan dengan baik karena akan selalu menjadi pembanding apabila berkaitan dengan pemberian nama baru untuk specimen yang lain.

Untuk memberi nama pada spesies diperlukan adanya specimen kunci (reference points) yang dideskripsi sbagai patokan untuk pemberian sebuah nama. Specimen kunci ini harus disimpan dalam musium khusus. Fungsi dari specimen tipe ini, antara lain sebagai landasan atau dasar untuk deskripsi, sebagai dasar standar pembanding dengan tipe tipe yang lain, dan sebagai data pembanding yang tidak dimiliki specimen lain. Beberapa stilah yang terkait spsimen kunci, antara lain sebagai berikut.

Holotipe - Merupakan satu specimen yang digunakan oleh seorang author untuk memberi nama suatu spesies pada waktu dilakukan “original description”.

Paratipe - Merupakan kumpulan beberapa specimen yang digunakan untuk memberi nama, yang digunakan untuk mendukung holotipe nya.

Lectotipe - Merupakan satu dari beberapa specimen yang dianggap atau ditunjuk sebagai holotipe karena holotipe nya belum ditentukan. Fungsinya sama dengan holotipe.

Paralelotipe - Merupakan serangkaian tipe specimen yang tersisa setelah lectotipenya ditunjuk atau ditentukan menjadi holotipe.

Neotipe - Merupakan specimen tipe yang baru yang digunakan sebagai standar yang berfungsi sebagai paratipe atau holotipe. Hal ini dilakukan apabila holotipe atau paratipe rusak atau hilang sehingga harus diganti yang baru.

Allotipe - Merupakan specimen tipe dari sederetan paratipe, namun yang jenis kelaminnya berbeda dengan yang menjadi holotipe.

Syntipe - Merupakan sederetan specimen tipe, namun belum ditentukan holotipenya sehingga menjadi tipe bersama.

Topotipe - Merupakan specimen tipe baru yang diambil dari tempat yang sama dengan dahulu holotipe diambil.

 IV. CIRI TAKSONOMI

A. Pengertian dan Fungsi

Mengapa ciri taksonomi cukup penting dalam kegiatan klasifikasi?
Dalam ruang lingkup taksonomi hewan, beberapa pekerjaan taksonomi dilakukan menggunakan pengamatan terhadap berbagai ciri. Sebagai contoh, pekerjaan klasifikasi juga menggunakan pengamatan atas ciri makhluk hidup. Pendekatan terhadap ciri tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai yang paling sederhana, misalnya hanya morfologi luar saja, sampai yang harus menggunakan alat bantu berteknologi tinggi, misalnya uji DNA. Berbagai pendekatan ini, dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Setiap makhkuk hidup memiliki ciri-ciri tersendiri. Ciri-ciri tersebut sangat beragam, dan dapat menimbulkan berbagai perbedaan. Perbedaan yang ada dapat muncul, antara lain karena pengaruh umur, jenis kelamin, musim, morfologi, dan lain lain. Setiap takson pasti memiliki ciri ciri yang menyebabkan takson tersebut berbeda dari takson yang lain. Namun demikian, tidak setiap ciri dapat digunakan sebagai pembeda antara satu takson dengan takson yang lain.

Beberapa ciri, kadang-kadang tidak memiliki makna yang penting walaupun tampak menyolok. Misalnya, karena pengaruh jenis kelamin antara ayam jantan dan betina pola warna bulu berbeda. Karena pengaruh umur antara ulat, kepompong, dan kupu kupu, maka bentuk tubuhnya juga berbeda. Karena pengaruh lingkungan, warna tubuh bunglon menjadi berubah-ubah. Di sisi yang lain, adanya pola belang-belang pada kaki nyamuk cukup untuk membedakan 2 kelompok nyamuk yang berbeda spesiesnya. Dalam kasus tersebut, belang-belang pada kaki nyamuk dikatakan memiliki nilai taksonomis.

Ciri-ciri yang bernilai taksonomis saja yang dapat digunakan sebagai pembeda takson, dan ini dikenal dengan nama ciri taksonomis atau taxonomic character. Jadi yang dimaksud ciri taksonomis adalah ciri atau atribut yang dimiliki oleh suatu takson yang dapat membedakan atau digunakan untuk membedakan dengan takson yang lain. Karena terkait dengan takson, maka ciri taksonomis ini harus digunakan pada level populasi, bukan individu.

Mengapa tidak semua ciri hewan dapat digunakan untuk pekerjaan taksonomi?

Penggunaan ciri-ciri ini haruslah sangat hati-hati. Harus dipilih mana yang benar-benar memiliki arti taksonomis. Contoh ciri-ciri yang tidak memiliki arti taksonomis, antara lain dapat disebabkan oleh hal sebagai berikut.

Perbedaan umur 
Perbedaan umur dapat mempengaruhi penampilan morfologi, misalnya antara anak ayam, ayam muda, dan ayam jantan dewasa penampilannya sangat berbeda. Selain itu fase-fase kehidupan hewan yang mengalami metamorfosis juga memperlihatkan penampilam yang sangat berbeda. Misalnya, larva serangga dan bentuk dewasanya juga berbeda.

Perbedaan jenis kelamin 
Perbedaan jenis kelamin juga dapat membuat penampakan hewan menjadi berbeda. Misalnya, antara ayam jantan dan betina, gajah asia jantan dan betina,serta ikan guppy jantan dan betina.

Perbedaan habitat 
Perbedaan habitat sering menyebabkan penampilan hewan juga berbeda, misalnya burung kutilang di daerah ketinggian lebih dari 600 m dpl warnanya lebih cerah daripada yang hidup di dataran rendah.

Perbedaan musim 
Musim berpengaruh besar terhadap morfologi hewan karena terkait dengan adaptasi untuk tujuan bertahan hidup. Sebagai contoh pada musim yang berbeda menyebabkan warna rambut kelinci kutub berbeda. Warna rambut keinci saat musim panas adalah cokelat gelap, dan dapat berubah menjadi abu-abu atau putih di saat musim berganti menjadi musim dingin.

Perbedaan pola makan
Perbedaan jenis makanan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh. Sebagai contoh, pada ikan warna tubuh sangat dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi.

Kehati-hatian ini sangat diperlukan, karena di antara ciri taksonomi sendiri ada yang memiliki bobot taksonomi yang tinggi dan rendah. Semakin tinggi bobot taksonominya, semakin tinggi tingkat kepercayaan dari ciri tersebut. Ciri yang berbobot tinggi biasanya ruang lingkupnya luas dan sangat stabil. Sebagai contoh, bagi hewan ada tidaknya vertebrae merupakan ciri yang berbobot tinggi, sebaliknya perbedaan pola warna kulit memiliki bobot yang rendah.

Pada umumnya ciri taksonomi yang berbobot tinggi banyak digunakan untuk membedakan takson pada kategori ordo ke atas. Sementara itu, ciri yang bobot taksonominya lebih rendah lebih banyak digunakan pada kategori yang rendah.

Dalam menggunakan ciri taksonomi, harus diperhatikan juga masalah adaptasi, sehingga dapat meminimalkan kesalahan yang mungkin terjadi.
Adaptasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan ciri.  Perubahan tersebut dapat terjadi karena adanya penyesuaian terhadap lingkungan secara keseluruhan (misalnya bentuk tubuh), adaptasi khusus (misalnya mimikri), mekanisme isolasi (isolasi geografis), dan adaptasi karena kompetisi (bentuk mulut ikan).

Apa fungsi dari ciri taksonomi?

Ada 2 fungsi utama dari ciri taksonomi, yaitu:
Pertama, ciri taksonomi memiliki fungsi sebagai aspek diagnostik. Artinya, ciri tersebut akan menjadi ciri khas dari takson tersebut. Dengan demikian tidak akan salah dengan takson yang lain.

Kedua , berfungsi sebagai indikator kekerabatan. Artinya, dengan ciri-ciri yang dimiliki dapat digunakan untuk melihat jauh-dekat hubungan kekerabatan antara satu takson dengan takson yang lain.

Fungsi dari ciri taksonomi ini akan sangat diperlukan pada saat kita melakukan kegiatan klasifikasi maupun identifikasi. Karena pada saat kita melakukan dua kegiatan tersebut, sebenarnya kita akan melakukan pengamatan dan selalu menggunakan ciri ciri taksonomi dari suatu takson.

B. Macam Ciri Taksonomi
Ciri taksonomi cukup banyak, namun secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut.

1. Ciri Morfologi

Ciri morfologi adalah ciri-ciri luar yang memiliki nilai taksonomi. Ciri morfologi ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain sebagai berikut.

Morfologi umum, adalah semua ciri morfologi yang dimiliki oleh hewan secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah  bentuk tubuh, paruh burung, sirip ikan, jumlah dan bentuk struktur tubuh tertentu (misalnya insang), dan pola warna tubuh.

Sebagai contoh, bentuk tubuh antara burung sriti dan walet sangat mirip, namun apabila kita perhatikan bentuk kakinya ternyata sangat berbeda. Ternyata kedua burung tersebut hubungan kekerabatannya relatif jauh, karena sriti merupakan anggota ordo paseriformes, sedangkan walet merupakan anggota ordo apodiformes. Perbedaan pada level ordo menunjukkan hubungan kekerabatan yang cukup jauh.

Struktur khusus, adalah struktur-struktur tubuh tertentu yang bernilai taksonomis. Misalnya, posisi lubang genital pada anggota reptilia, pola vena sayap serangga, susunan sisik pada tarsus burung, dan struktur mulut pada serangga.

Sebagai contoh dapat dilihat pada pola venasi pada sayap kupu-kupu (lepidoptera). Pola-pola venasi tersebut memiliki nilai taksonomis tinggi karena dapat digunakan untuk membedakan antar-spesies

Anatomi, adalah morfologi internal. Misalnya, jumlah paru paru, susunan dan jumlah vertebrae, ada tidaknya gelembung renang ikan, struktur jantung, dan struktur rangka pada tungkai katak.

Sebagai contoh struktur gelang bahu pada amphibia dari kelompok anura. Bentuk gelang bahu yang berbeda (tipe arciferal dan tipe firmisternal) dapat digunakan untuk membedakan anggota dari anura ke dalam dua kelompok yang berbeda.

Embriologi, adalah ciri yang dapat diamati selama proses perkembangan embrio. Misalnya, jumlah lapisan dermal, ada tidaknya celah insang pada chordate, fase fase embriologi, eksis dan mereduksinya struktur tertentu (chorda dorsalis), serta perkembangan embrio (dalam telur atau bukan).

Karyologi, adalah ciri-ciri pada tingkat kromosom. Misalnya, karyologi kromosom, struktur dan jumlah kromosom. Jumlah, ukuran, serta bentuk kromosom dapat memiliki nilai taksonomis yang penting.

Sitologi, adalah ciri ciri pada tingkat sel. Misalnya struktur sel, ada tidaknya komponen sel tertentu, serta perbedaan organel sel.

2. Ciri Fisiologi

Ciri ini merupakan ciri-ciri yang bersifat fisiologis. Namun sayangnya, ciri ini sebagian besar sulit diawetkan dan agak sulit diamati. Namun demikian, dengan metode tertentu ciri ini dapat dideteksi sehingga dapat digunakan. Beberapa ciri fisiologi, antara lain sebagai berikut. 
Produk-produk metabolit, misalnya hasil-hasil metabolisme tubuh. Hasil sekresi tubuh, misalnya sekret dari kelenjar tertentu.

3. Ciri Ekologi

Ciri ini terkait dengan lingkungan atau habitat tempat hidupnya. Ciri ciri ekologi meliputi, antara lain sebagai berikut.

Habitat, artinya setiap hewan memiliki habitatnya sendiri-sendiri yang sifatnya khas. Misalnya pada spesies sibling dan spesies allochronik. Sebagai contoh, secara sepintas umumnya nyamuk sulit dibedakan berdasarkan pengamatan morfologi. Namun, ternyata dengan melihat habitatnya, misalnya air jernih, air keruh, atau air payau, kita dapat membedakan jenisnya.

Host atau inang, artinya ada kaitan secara khusus antara hewan (parasit)  dengan inangnya. Beberapa hewan parasit kadang penampakannya sangat mirip, namun karena hidup pada inang yang berbeda dapat digunakan sebagai dasar pembeda spesiesnya.

Makanan, artinya setiap hewan memiliki jenis pakan tertentu. Misalnya, antara burung walet dan sriti penampilan luar sangat mirip, namun dengan melihat jenis makanan dan cara makan maka akan terlihat sekali perbedaannya bahwa mereka merupakan spesies yang berbeda.

Reaksi host, artinya inang yang ditempati akan memberi rekasi tertentu apabila ditempati parasit. Misalnya, reaksi berupa ketahanan terhadap parasit atau efek yang timbul.

4. Ciri Perilaku

Ciri perilaku adalah ciri yang muncul berupa perilaku tertentu. Perilaku ini sangat erat kaitannya dengan lingkungan hidupnya, baik biotik maupun abiotik. Misalnya perilaku musim kawin, perilaku pakan, dll. Sebagai contoh, ada 2 jenis itik gunung yang hidup di daerah Pegunungan Dieng, yang penampilannya sangat mirip. Keduanya hidup bercampur dalam satu koloni. Namun, pada saat musim kawin kedua jenis tersebut baru akan kelihatan perbedaannya karena perilaku tarian kawin atau mating courtship-nya sangat berbeda.

5. Ciri Biokimia

Ciri ciri yang berupa proses biokimia tubuh. Ciri ini agak mirip dengan fisiologi. Selain itu, ciri ini juga agak sulit diawetkan. Contohnya reaksi enzimatik pada tubuh atau sekret, dan kandungan protein pada berbagai macam telur burung.

6. Ciri Molekuler

Ciri ini merupakan perkembangan dari ciri biokimia, namun diamati secara lebih spesifik pada aras molekuler. Misalnya struktur DNA, profil protein, atau sekuensing DNA.  Sebagai contoh, banyak makhluk hidup yang ditemukan sudah dalam keadaan sebagai fosil. Untuk kepentingan identifikasi, maka teknologi biologi molekuler sangat membantu untuk menentukan identitasnya.

7. Ciri Geografis

Merupakan ciri yang muncul karena pengaruh kondisi geografis. Ciri ini banyak digunakan apabila dikaitkan dengan zoogeografi dan evolusi. Sebagai contoh, ikan tawes yang hidup di sungai terbuka dan sungai bawah tanah dalam gua, memperlihatkan ciri-ciri yang berbeda.

Untuk pekerjaan taksonomi, ciri apa yang sering digunakan?

Sampai saat ini ciri yang paling mudah diamati adalah ciri luar dari makhluk hidup. Dengan semakin kompleksnya permasalahan tentang identifikasi maka beberapa ciri  harus menggunakan alat bantu untuk mendeteksi mulai digunakan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini sangat berperan besar dalam pengamatan berbagai ciri taksonomi. Hal-hal yang terkait dengan pengamatan ciri taksonomi yang dulu sulit dilakukan, banyak yang sekarang mulai dilakukan. Misalnya adanya mikroskup berkemampuan tinggi, teknik pengamatan DNA, berbagai alat deteksi, komputer berkemampuan tinggi, dan lain lain.

Pada saat ini, perkembangan taksonomi modern telah berkembang. Perkembangan ini ada kecenderungan bukan sekedar memperhatikan tentang deskripsi, identifikasi, dan klasifikasi saja, namun mulai berusaha memahami sejarah evolusi serta mekanismenya. Salah satu dasar yang penting digunakan untuk memahami hal tersebut, kuncinya ada pada ciri taksonomi.


BAB V
ISOLASI REPRODUKSI

Bebagai jenis nyamuk sering ditemui hidup dalam satu area yang sama. Akan tetapi, ternyata antar jenis nyamuk tersebut tidak saling melakukan perkawinan, walaupun secara sepintas bentuk tubuh mereka sangat mirip. Tidak terjadinya perkawinan tersebut karena antar jenis yang berbeda terdapat isolasi reproduksi yang menyebabkan tidak terjadinya interbreeding.

Permasalahan yang terjadi pada nyamuk tersebut merupakan suatu contoh bahwa, pada saat kita membicarakan masalah konsep spesies biologi, salah satu faktor yang sangat erat kaitannya dengan konsep tersebut adalah isolasi reproduksi.


A. Pengertian Isolasi Reproduksi
Pada dasarnya pengertian  isolasi reproduksi adalah suatu halangan yang menyebabkan dua atau lebih individu tidak dapat melakukan interbreeding. Jadi, antar satu individu tidak dapat saling melakukan perkawinan (interbreeding) karena terhambat oleh sesuatu hal. Misalnya, berada pada tempat yang berbeda dan tidak mungkin bertemu atau musim kawin berbeda-beda.

Bagaimana isolasi reproduksi dapat terjadi?

Ada dua kategori utama tentang terjadinya isolasi reproduksi, yaitu prezigotik dan post-zigotik. Isolasi prezigotik terjadi sebelum zigot terbentuk. Isolasi ini dapat terjadi karena karena populasi yang ada tidak sempat saling kawin. Tidak kawinnya hewan–hewan tersebut, antara lain karena isolasi spatial, perilaku, temporal, dan mekanik. Sementara itu, pada isolasi post-zigotik sebenarnya sudah terjadi perkawinan dan membentuk zigot. Akan tetapi, zigot yang terbentuk ada yang tidak berkembang dan ada yang berkembang. Zigot yang berkembang ini disebut hibrid. Hibrid ini pada kenyataannya tidak mampu berkembang biak atau steril. Akibatnya tidak pernah terbentuk populasi baru.

Pengertian isolasi reproduksi tidak sekedar hanya adanya halangan yang menyebabkan tidak terjadinya perkawinan. Namun, juga mencakup pada ketidak-mampuan makhluk hidup menghasilkan keturunan yang fertil. Dengan demikian isolasi reproduksi pengertiannya lebih luas, yaitu ketidak-mampuan suatu makhluk hidup untuk membentuk suatu populasi yang lebih besar.

1. Isolasi Repproduksi Prezigotik

Isolasi pre-zigotik ini akan mencegah terjadinya pembentukan zigot. Pada isolasi ini mungkin terjadi perkawinan atau tidak terjadi perkawinan. Pada populasi yang sudah terjadi perkawinan, zigot tidak pernah terbentuk. Pada populasi yang tidak memungkinkan terjadi perkawinan, maka antara dua individu belum atau tidak melakukan kontak mating karena adanya halangan tertentu.

Pada dasarnya di antara individu yang bersangkutan ada potensi untuk melakukan mating, namun tidak terjadi karena antara satu hewan dengan yang lain terdapat isolasi. Isolasi prezigotik dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

a. Isolasi Spatial 
Isolasi spatial terjadi apabila dua populasi tidak pernah bertemu satu dengan yang lain sehingga tidak pernah terjadi perkawinan. Sebagai contoh, Gallus gallus di pulau Jawa tidak pernah bertemu Gallus gallus di pulau Sumatra sehingga tidak akan pernah terkadi perkawinan di antara dua populasi tersebut.

Tidak pernah bertemunya populasi tersebut dapat karena adanya jarak yang menghalangi, dan atau tidak ada jarak yang menghalangi karena terdapat pada satu area yang sama. Atas dasar hal tersebut dibedakan 2 kategori isolasi, yaitu sebagai berikut.

Isolasi Geografis 
Isolasi geografis terjadi karena adanya penghalang (barrier) fisik yang memisahkan dua populasi. Isolasi ini menyebabkan antar individu tidak pernah bertemu karena terhalang oleh penghalang geografis, misalnya sungai, laut, gunung, dan gurun pasir. Akibatnya, apabila ada isolasi secara geografis akan menyebabkan dua individu atau lebih tidak dapat saling bertemu, dan tidak pernah terjadi perkawinan. Contohnya, ikan tawes di Jawa dan di Kalimantan secara alamiah tidak akan pernah kawin karena tidak mungkin bertemu (secara umum disebut species allopatrik).

Isolasi Habitat 
Pada isolasi habitat, tidak terjadi pemisahan area atau tidak ada jarak yang jauh yang memisahkan dua populasi. Namun demikian, antar populasi tersebut memiliki habitat yang berbeda sehingga tidak pernah saling bertemu.

Karena perbedaan habitat tersebut, maka individu yang ada juga tidak pernah bertemu untuk melakukan perkawinan. Penghalang ini dapat berupa tempat hidup atau habitat.

Sebagai contoh, dua ekor mollusca yang hidup pada suatu ekosistem kolam. Mollusca yang satu habitatnya di air dan yang satunya habitatnya di dedaun di pinggir kolam. Karena berbeda habitat maka mereka tidak pernah akan saling bertemu dan melakukan perkawinan (secara umum spesies yang demikian disebut spesies simpatrik).

b. Isolasi temporal 
Isolasi temporal adalah penghalang yang terjadi karena pengaruh waktu kehadiran hewan yang berbeda. Kehadiran yang berbeda pada lokasi yang sama menyebabkan individu hewan juga tidak saling bertemu, akibatnya juga pernah terjadi perkawinan.

Sebagai contoh, pada lokasi yang sama sebenarnya hidup 2 kelompok katak. Namun, salah satu kelompok menyukai hidup di tempat yang banyak air, sedangkan kelompok yang satunya menyukai hidup di tempat yang sedikit air. Pada saat musim penghujan di lokasi tersebut terdapat katak yang suka banyak air. Akan tetapi, sebaliknya  pada musim kering katak yang suka air tersebut menghilang, dan pada lokasi yang sama muncul katak lain yang lebih menyukai lokasi yang kering tersebut. Akibatnya, karena mereka hadir di tempat yang sama namun pada waktu yang berbeda maka kedua katak tersebut tidak pernah bertemu dan tidak terjadi perkawinan.

Contoh isolasi temporal yang lain adalah burung yang memiliki musim kawin yang berbeda. Meskipun berada pada tempat yang sama pada waktu yang sama, namun karena burung-burung tersebut musim kawinnya pada waktu yang berbeda menyebabkan burung tersebut tidak akan saling melakukan perkawinan.  

c. Isolasi Perilaku 
Isolasi perilaku ini terjadi pada suatu ekosistem yang dihuni oleh beberapa populasi yang saling mirip pada area yang sama, namun tidak terjadi perkawinan. Populasi yang berbeda tersebut memiliki perilaku kawin yang berbeda-beda pula, misalnya dalam hal bersuara, dan pola courtships display.

Hewan-hewan tidak akan kawin dengan hewan lain yang tidak sejenis. Meskipun secara fisik mirip, namun kebanyakan hewan tidak salah dalam memilih pasangan dengan cara melihat perilaku pada saat masuk musim kawin. Pada saat masuk musim kawin inilah akhirnya beberapa populasi yang berbeda akan secara jelas kelihatan bedanya sehingga populasi yang berbeda tidak akan saling kawin.

Sebagai contoh, sejenis burung betet (psittaciformes) memiliki morfologi yang sangat mirip. Namun burung betina dapat dengan mudah membedakan jantan yang sejenis atau tidak, justru pada saat musim kawin dengan memperhatikan suaranya. Akibatnya, burung betet tersebut tidak akan kawin dengan burung betet jenis yang lain.

d. Isolasi mekanik 
Pada kondisi ini kadang-kadang ada dua jenis hewan yang mirip dan kekerabatannya dekat memiliki kemauan untuk melakukan perkawinan, misalnya antara banteng dan sapi. Namun demikian, secara alamiah perkawinan tersebut tidak terjadi. Isolasi ini dapat terjadi karena ada halangan struktur tubuh, khususnya perbedaan struktur alat kelaminnya yang tidak memungkinkan terjadinya transfer material genetik. Misalnya karena alat kelamin berbeda strukturnya, hewan berbeda jenis tidak saling kawin.

e. Isolasi Gametik 
Pada beberapa kasus, ada beberapa populasi yang sebenarnya tidak ada halangan untuk saling kawin, namun tidak tidak pernah terjadi fertilisasi. Kemungkinan besar hal tersebut terjadi karena pada hewan betina memiliki sistem immun yang akan menolak sperma yang masuk, atau kadang-kadang sperma tidak mampu beradaptasi pada lingkungan internal alat genitalia betina. Akibatnya, tidak pernah terbentuk zigot.

 

2. Mekanisme Reproduksi Post-zigotik

Pada mekanisme ini sebenarnya tidak ada halangan untuk melakukan kontak sehingga antara dua individu jantan dan betina sudah terjadi perkawinan, namun tidak berhasil menghasilkan keturunan yang fertil. Akibatnya, dari hasil perkawinan ini tidak pernah terbentuk populasi. Ketidakmampuan menghasilkan keturunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

a. Abnormalitas Zigot Hibrid 
Gamet-gamet dari spesies yang berbeda apabila bersatu seringkali dapat terjadi fertilisasi dan menghasilkan zigot hybrid, namun zigot ini bisanya bersifat abnormal. Zigot ini jarang sekali yang mampu bertahan hidup.

b. Zigot mati atau embrio mati sebelum terjadi perkembangan  lebih lanjut 
Setelah terjadi kontak seksual, kemudian dilanjutkan dengan fertilisasi. Selanjutnya, embrio yang dihasilkan akan berkembang. Namun pada tahap ini, embrio tidak pernah berkembang sehingga tidak akan diperoleh keturunan. Contohnya pada perkawinan antara sapi dan banteng.

c. F-1 hidup tapi steril  
Setelah terjadi fertilisasi, ada perkembangan embrio dan dihasilkan anak. Namun demikian, setelah dewasa ternyata anak ini bersifat steril sehingga pada saatnya nanti tidak dapat menghasilkan keturunan baru dan tidak pernah akan membentuk populasi. Contohnya pada ayam bekisar.

d. F-2 mati atau hidup namun steril 
Meskipun pada proses ini, dihasilakan anak (F1) dan bersifat fertil, ternyata keturunan berikutnya (F2) selalu steril atau tidak pernah hidup. Maka kondisi ini masih dapat dikategorikan bahwa ada isolasi reproduksi pada parentalnya. Contohnya pada burung tekukur dan perkutut.

B. Dampak Isolasi Reproduksi

Secara umum dampak dari adanya isolasi reproduksi adalah antara individu jantan dan betina tidak dapat menghasilkan keturunan dan tidak bisa membentuk populasi. Karena hibrid tersebut tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep spesies biologi, maka tidak pernah diberi ilmiah.

Kalaupun ada yang mampu menghasilkan keturunan dan hidup biasanya juga bersifat fertil. Contoh yang cukup populer adalah hasil perkawinan antara Gallus gallus dan Gallus varius yang menghasilakan ayam yang kita beri nama ayam bekisar. Ayam ini steril sehingga tidak dapat membentuk populasi, serta tidak diberi nama ilmiah.
Pada sisi lain, seringkali “pemaksaan-pemaksaan” oleh manusia dengan mengawinkan jenis-jenis yang berbeda yang secara alami sebenarnya ada isolasi reproduksi. Misalnya, mencampurkan hewan-hewan yang sebenarnya habitatnya sangat terpisah jauh atau mengawinkan jenis-jenis yang berbeda meskipun mirip.

“Pemaksaan” ini biasanya memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Sebagai contoh, untuk menghasilkan benih udang galah yang baik, beberapa jenis udang Macrobrachium dari beberapa wilayah di Indonesia dikawinkan secara paksa. Hasilnya adalah benih udang galah (Macrobrachium rosenberghii) varian GI-macro yang unggul dan produktif.

Adanya kenyataan bahwa apabila dipaksakan ternyata ada beberapa spesies yang berbeda yang ternyata mampu berkembang biak. Hal tersebut “seolah-olah” menyebabkan adanya ketidaksinkronan dengan konsep spesies biologi, padahal sebenarnya tidak demikian. Namun demikian, konsep spesies biologi yang salah satu kata kuncinya adalah menekankan “perkawinan terjadi secara alamiah”, menyebabkan tidak ada kontradiksi perkawinan-perkawinan karena pemaksaan dengan konsep spesies biologi.

Pada dampak yang lebih jauh, isolasi reproduksi (terutama yang terpisah karena isolasi geografis) dapat menyebabkan populasi yang terpisah menjadi inklusif dan tidak mendapatkan aliran gen dari populasi yang lain. Perkawinan dalam populasi kecil yang terisolasi terus-menerus, terutama pada habitat yang berbeda, dapat mengakibatkan susunan gen yang ada menjadi inklusif dan bisa berbeda dengan poluasi yang lain. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadi spesiasi.

Itulah sebabnya, selama ini dugaan proses spesiasi banyak terjadi pada tempat-tempat yang secara geografis terpisah dan memiliki habitat yang berbeda. Keterpisahan dengan populasi induk dalam jangka waktu lama sangat mungkin menyebabkan beberapa kelompok kecil menjadi sangat berbeda. Pulau yang terpencil (seperti Pulai Nias dan Galapagos) serta gua-gua yang dalam merupakan salah satu tempat yang ideal untuk mempelajari kemungkinan adanya proses spesiasi.